EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan tarif pajak di Indonesia belum cukup progresif. Hal ini turut menyebabkan masih tingginya tingkat kesenjangan pendapatan di Indonesia.
"Harus dibuat lebih progresif dengan memperbaiki lapisan penghasilan yang kena pajak (tax brecket) dan disesuaikan dengan lapisan penghasilan riil orang kaya," kata Yustinus kepada Republika.co.id, Ahad (13/12).
Yustinus menjelaskan, negara-negara lain bisa mengatasi masalah ketimpangan dengan memperbanyak lapisan penghasilan kena pajak. Sementara di Indonesia hanya ada empat lapisan.
Lapisan teratas bahkan batasannya masih terbilang rendah, yakni penghasilan di atas Rp 500 juta per tahun dengan tarif pajak 30 persen. Sehingga, wajib pajak yang memiliki penghasilan Rp 5 miliar dikenakan tarif sama dengan yang memiliki penghasilan Rp 501 juta.
"Jadi, bisa dinaikkan tarif untuk lapisan atas. Tarif 35 persen dikenakan untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar dan 30 persen untuk di atas Rp 1 miliar," ucap Yustinus.
Kalau perlu, kata Yustinus, pemerintah bisa menambah lapisan tarif untuk penghasilan yang pantas dikenakan tarif 10 persen dan 20 persen. Saat ini, selain lapisan penghasilan di atas Rp 500 juta, tiga lapisan penghasilan kena pajak lainnya adalah penghasilan sampai Rp 50 juta (tarif 5 persen), Rp 50-250 juta (tarif 15 persen), dan Rp 250 juta-Rp 500 juta (tarif 25 persen).
Kenaikan tarif pajak penghasilan lapisan atas bukan bertujuan mengurangi ketimpangan dengan menghambat pertumbuhan orang-orang kaya. Ini bertujuan supaya pemerintah dapat menambah penerimaan negara dari pajak orang-orang kaya dan menyalurkannya melalui program-program penganggulangan kemiskinan atau belanja-belanja yang sifatnya produktif. (Baca juga: Kesenjangan Pendapatan Melebar Karena Orang Kaya Malas Bayar Pajak)