EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemanfaatan Dana Investasi Real Estate (DIRE) berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) masih sangat minim. Hal ini terkendala pengenaan pajak yang besar terkait penerbitan DIRE.
Kepala Pengawas Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fahri Hilmi mengatakan, tarif pajak yang dikenakan pada perusahaan properti untuk menerbitkan DIRE terbilang tinggi. Ini membuat perusahaan enggan menerbitkan produk investasi ini dan lebih memilih menerbitkannya di negara lain.
Padahal, program ini sebenarnya sudah digulirkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2007. "Sampai sekarang baru 1 Project DIRE, itu proyek mal di Solo senilai Rp 360 miliar, sampai saat ini belom ada proyek yang muncul lagi," ujarnya di Jakarta, Senin (14/12).
Ia mengakui dari sisi aturan perpajakan terkait DIRE saat ini masih terdapat kekurangan sehingga membuat penerbitan DIRE di Indonesia kurang kompetitif.
"Sampai saat ini, kita pahami kendala utama pengenalan perpajakan yang kurang kompetitif. DIRE di indonesia size-nya hanya Rp 500 miliar. Sementara di Singapura Rp 30 triliun. Jadi properti produknya di Indonesia tapi di-DIRE-kan di Singapura," jelas Fahri.
Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 200 yang mengatur perpajakan DIRE khususnya. Peraturan ini pun baru diterbitkan pada tanggal 10 November lalu.
Namun, aturan yang terbilang baru ini pada praktiknya ternyata masih kurang menggairahkan pelaku pasar. Maka, bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pihaknya masih mendiskusikan kembali kebijakan yang ada.
"Kami sedang mendiskusikan dengan perpajakan. Kemarin masih ada PR, seperti PMK Nomor 200, ada beberapa pasal yang kurang kondusif," ungkapnya.
Fahri menyatakan kemungkinan akan ada revisi aturan tersebut. Tujuannya untuk bisa mengakomodasi penerbit DIRE.
"Yang pasti saat ini diskusi mengenai beberapa pasal supaya perpajakan terkait penerbitan DIRE bisa lebih kondusif dan kompetitif dengan negara tetangga," ungkapnya.