EKBIS.CO, JAKARTA -- Perlambatan pertumbuhan utang luar negeri (ULN) per Oktober 2015 dinilai perlu dijadikan momentum menggenjot industri manufaktur. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani melihat, kondisi perlambatan ULN merupakan hal wajar sebab terjadi pelemahan kurs rupiah dan penurunan harga komoditas tambang.
Oleh karena itu, sektor substitusi seperti manufaktur, perikanan, pangan dan pariwisata yang justru harus dikembangkan di situasi tersebut. "Selalu ada substitusi pengganti, karena perlambatan ini alamiah di tengah situasi global," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (20/12).
Ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS, para pengusaha dinilai tidak berani meminjam dalam bentuk dolar, terutama di sektor pertambangan mineral. Mereka dihadapkan pada harga komoditas yang jatuh, tingginya utang dalam bentuk dolar AS dan permintaan yang menurun.
Ia menilai, sekitar 70 persen usaha pertambangan kolaps. Sisanya dapat bertahan karena melakukan perpanjangan pinjaman luar negeri dan melakukan restrukturisasi.
Situasi tersebut harusnya direspons dengan memperkuat industri manufaktur yang telah lama ditinggalkan. "Tapi untuk mengembangkannya, masalah listrik paling utama harus diselesaikan, pemerintah harus cepat," katanya. Sektor pariwisata pun dapat menjadi alternatif yang efektif menggenjot perekonomian. Ia bahkan lebih siap, ditandai dengan jumlah hotel yang sudah sekitar 270.500 kamar.