Ahad 10 Jan 2016 21:33 WIB

Pembangunan PLTN Dianggap Belum Mendesak

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Maman Sudiaman
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir/PLTN (ilustrasi)
Foto: EPA/Laurent Dubrule
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir/PLTN (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dinilai belum mendesak. Anggota Dewan Energi Nasional Rinaldy Dalimi menilai, hingga saat ini belum ada alasan bagi pemerintah untuk memutuskan pembangunan PLTN. Rinaldy mengungkapkan, dari segi bahan baku, Indonesia harus mengimpor uranium untuk bisa mewujudkan PLTN. 

Selain itu, lanjutnya, dari segi lokasi pun Indonesia tidak memiliki tempat yang sepenuhnya aman dari potensi bencana seperti kegempaan. "Tidak ada alasan lagi PLTN dibangun di Indonesia. Tidak ada uranium. Tidak ada daerah yang aman. Kalimantan, Bangka Belitung masih bisa gempa. Bahkan Australia yang ekspor uranium pun tidak mau bangun PLTN hingga kini," kata Rinaldy dalam sebuah diskusi di Gedung Dewan Pers, Ahad (10/1). 

Rinaldy melanjutkan, pembangunan PLTN juga bakal membutuhkan biaya investasi 4 hingga 5 kali lebih besar dari pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Tak hanya itu, ia menyebut hasil studi oleh DEN menunjukkan harga listrik dari nuklir bisa mencapai 12 sen dolar AS per kWh. Artinya, pemerintah masih harus memberikan subsidi listrik dengan angka sebesar itu. 

Selain itu, Rinaldy juga mengatakan bahwa pembangunan PLTN dengan standar keamanan skala internasional sangatlah mahal. Apalagi, katanya, pascainsiden di PLTN Fukushima, Jepang yang membuat Jepang akhirnya menurunkan penggunaan nuklir untuk energi pada 2030 mendatang. 

"Sebenarnya pemerintah pun tidak ngotot. Pemerintah kan ikut menempatkan nuklir di pilihan terakhir. Pejabat kita nyatakan bahwa PLTN belum. Bahkan Budiono (mantan wapres) nyatakan bahwa Indonesia akan mengembangkan teknologi nuklir bukan untuk energi," kata Rinaldy. 

Sementara itu, semangat kelistrikan Fabby Tumiwa juga menilai energi nuklir masih terlampau mahal untuk diterapkan di Indonesia. Belum lagi, menurutnya, PLTN masih ada potensi bahaya dan terlalu berisiko. Fabby sendiri lebih mendukung pemanfaatan sumber energi lain seperti energi baru terbarukan (non nuklir) dibanding pemanfaatan energi nuklir. 

"Kalau memang menjanjikan, harusnya berkembang dong di dunia. Tapi saat ini pengguna PLTN sudah berkurang jauh karena mulai 20 tahun terakhir masih sedikit sekali. Fakta angkanya tidak bertambah," kata Fabby.

Ia juga menyebutkan sejumlah pengurangan minat pemanfaatan nuklir di dunia saat ini. Fabby mengambil contoh, Perancis melalui kebijakan energi yang diterbitkan 2014 lalu telah memutuskan pengurangan pemanfaatan listrik dari PLTN dari 80 persen menjadi 50 persen. Tak hanya itu, Jepang juga memutuskan pengurangan bauran energi nuklir pada 2030 nanti berkurang dari 30 persen menjadi 20 persen saja. 

"Negara ini yang sebelumnya menguasai teknologi, justru merasa tidak aman dan murah. Justru makanya saya bilang persepsi ini tidak akan mudah," kata Fabby. 

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement