Industri kecil yang memproduksi sandal ini, dikatakan Irfan tidak terlalu dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi mahal, industri sandal banyak yang mengalami penurunan omzet.
Irfan mengatakan, saat harga BBM tahun lalu sempat melambung tinggi, bahan baku untuk membuat sandal pun menjadi sangat mahal. Setelah bahan baku naik meski harga BBM telah turun, harga bahan baku tidak akan turun lagi. "Kalau harga sudah naik biasanya tidak turun lagi," ujarnya.
Pepen Wahyu Suparli, warga Kampung Cipicung menceritakan, sekitar tahun 1980 Kampung Cipicung sudah cukup terkenal. Menurutnya, yang membuat Kampung Cipicung terkenal karena ada usaha kecil dan menengah yang memproduksi sandal. Sehingga, masyarakat mengenalnya dengan sebutan Sandal Cipicung.
Pada awal tahun 1980, perajin sandal di Kampung Cipicung hanya memproduksi sandal kelom. Seiring perkembangan zaman, para pengrajin tidak lagi memproduksi kelom. Kini mereka memproduksi sandal untuk laki-laki dan perempuan dengan bahan dasar hampir semuanya plastik.
"Dulu tahun 1980 banyak warga Cipicung yang mendadak jadi bos karena ada pembeli sandal dari Australia," kata Pepen,
Perajin sandal di industri rumahan ini tidak menggunakan mesin berat. Mereka hanya menggunakan keterampilan tangan. Sol yang terbuat dari plastik untuk alas sandal paling bawah dibeli dari masyarakat yang memproduksinya. Begitu pula dengan spons dan imitasi yang menjadi alas bagian atas sandal.
Kemudian, alas sandal bagian atas yang terbuat dari spons dan imitasi disatukan dengan mamil. Ukuran sandal disesuaikan sesuai pesanan. Alat pengukurnya menggunakan kayu berbentuk kaki manusia.
Spons yang sudah dipasangi mamil kemudian diolesi lem bakar sebelum direkatkan dengan sol. Setelah diolesi, sandal harus di panaskan dengan panggangan untuk membuat lem bakar bereaksi. Barulah spons sandal direkatkan dengan sol. Setelah direkatkan, sandal langsung siap pakai.