EKBIS.CO, JAKARTA – Komisaris Utama Garuda Maintenance Facilities (GMF) Iwan Djoeniarto mengatakan, industri perawatan pesawat atau maintenance, repair and overhaul (MRO) di Indonesia masih membutuhkan kemudahan untuk mempercepat importasi komponen atau spare part. Kemudahan tersebut dapat menjadi daya tarik bagi maskapai penerbangan asing untuk melakukan MRO di Indonesia.
“Kami sudah bicara ke Ditjen Bea dan Cukai untuk membuat sebuah area khusus di GMF agar ada kemudahan dalam importasi komponen atau spare part,” ujar Iwan di Jakarta, Ahad (6/3).
Iwan menjelaskan, kemudahan importasi komponen tersebut dapat memangkas waktu penanganan MRO yang rata-rata selama tujuh hari menjadi hanya lima hari. Dengan penanganan yang semakin cepat, maka maskapai penerbangan dapat menghemat biaya dan hal ini akan membuat Indonesia semakin kompetitif.
Selain itu, kemudahan tersebut juga akan mendukung industri MRO agar bisa saling terintegrasi. Menurut Iwan, industri MRO yang saling terintegrasi yakni semua fasilitas perawatan pesawat berada di dalam satu tempat mulai dari aviation part, bengkel perawatan komponen, perawatan engine, dan perawatan cabin.
“Sebenarnya di Indonesia masih memiliki lahan yang luas dan sumber daya manusia yang tersedia,” kata Iwan.
Iwan mengatakan, industri MRO yang mumpuni tidak hanya terintegrasi dengan aviation part saja namun juga tenaga kerja dan alih teknologinya juga harus disiapkan. Dia berharap, pemerintah bisa memberikan fasilitas untuk membangun lembaga pendidikan khusus di bidang MRO dan berkolaborasi dengan pelaku industrinya. Dengan demikian, lulusan dari lembaga pendidikan tersebut dapat langsung dipekerjakan dan siap berkompetisi dengan negara lainnya di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Iwan menjelaskan, saat ini 60 maskapai penerbangan lebih memilih untuk melakukan perawatan pesawat di luar negeri sedangkan 40 persen di Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki industri MRO yang menjanjikan, misalnya tempat yang luas yakni tidak hanya di Jakarta namun juga di Indonesia Timur. Namun, kemudahan dan kecepatan tersedianya spare part masih menjadi pertimbangan maskapai penerbangan asing untuk melakukan MRO di Indonesia.
“Kompetitor terberat adalah Singapura, karena mereka sudah lama mengembangkan MRO dan terintegrasi dengan baik serta pemerintahnya memberikan kemudahan sehingga menarik bagi maskapai untuk melakukan perawatan kesana,” ujar Iwan.
Menurut Iwan, peluang Indonesia untuk mengembangkan industri MRO sangat besar asalkan didukung dengan kemudahan dan saling terintegrasi. Saat ini hanggar GMF memiliki luas 97 hektar dengan kapasitas terpakai sekitar 70 persen, Iwan menargetkan pada 2018 kapasitasnya bisa terpakai 100 persen. Jika kapasitas sudah terpakai seluruhnya, maka GMF akan mengkaji pengembangan hanggar di Indonesia timur yang belum terutilisasi seperti di Biak dan Manado.