Kamis 17 Mar 2016 15:24 WIB

Perluasan Negara Pengimpor Daging Ancam Peternak Lokal

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nur Aini
Pedagang memotong daging sapi di Pasar Senen Jakarta Pusat, Kamis (4/2).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pedagang memotong daging sapi di Pasar Senen Jakarta Pusat, Kamis (4/2).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Sejumlah peternak masih menentang keras rencana pembukaan impor daging sapi berbasis zona berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 4/2016. Dalam PP yang merupakan turunan UU 41/2014, pemerintah memiliki dasar hukum membuka gerbang impor daging sapi dari suatu zona yang dinyatakan bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) namun di dalam negara yang belum dinyatakan bebas PMK.

Peternak menyatakan penolakan sebab PP dinilai akan mengancam usaha peternakan rakyat serta membuat produk daging sapi lokal tertekan serbuan produk impor.

"Peternak menolak PP ini, karena imbasnya akan luar biasa secara psikologis dan ekonomi," kata peternak di Jakarta yang merupakan CEO dan Pendiri Bhumi Andhini Farm and Education Ilham Akhmadi dalam Diskusi Publik Bincang-Bincang Agribisnis (BBA) bertema "Peternakan Indonesia Pasca PP Pemasukan Ternak dan Daging Zona Base", di Jakarta, Kamis (17/3). Jika tidak ada peninjauan ulang, ia pun meminta pemerintah membuat PP lanjutan. "Berlakukan saja, selanjutnya bentuk juga PP Pemusnahan Peternak Sapi Lokal," tuturnya.

Pembukaan impor daging sapi atau kerbau berdasarkan zona base diyakininya akan meredupkan semangat beternak petani lokal. Importasi impor sapi pada 2009, contohnya. Pemasukan sapi dan daging impor membuat harga sapi lokal jatuh dan peternak merugi. Dampaknya, populasi sapi makin sedikit karena peternak lokal tak cukup punya operasional untuk beternak.

Untuk menghasilkan pedet atau anak sapi, kata dia, membutuhkan waktu dan dana yang tidak pasti karena peternakan rakyat mini  teknologi. "Paling kita hanya untung Rp 150 ribu per bulan," katanya. Di sisi lain, keberhasilan program geretak birahi dari pemerintah diperkirakan hanya 20 persen.

Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia Asnawi menguraikan soal dugaan dasar kebijakan pemerintah menggulirkan PP nomor 4/2016. "Kalau tujuannya agar mendapat daging murah, harusnya dilihat dulu, daging bagian mana yang mahal," kata dia.

Sebab, daging sapi mahal yang digaungkan pemerintah dan media adalah daging di bagian paha belakang, tenderloin, dan sirloin. Konsumennya pun hanya 16 persen dari jumlah masyarakat Indonesia. Makanya, ia mempertanyakan siapa yang sebenarnya berteriak atas harga daging sapi mahal,

Ia menguraikan, sapi dengan bobot 500 kilogram akan menghasilkan 48-53 persen karkas, tergantung pemotongan dan pengulitan. Bagian daging termahal misalnya tenderloin. Harganya di pasar tradisional ada di kisaran Rp 105-107 ribu sedangkan sirloin Rp 103-105 ribu.  

Harga daging terendah di pasar tradisional adalah jenis CL65 dan CL85 atau tetelan. Daging jenis ini lebih banyak lemaknya ketimbang dagingnya, semacam rawon. Daging ini biasa digunakan untuk pembuatan gulai di restoran padang, bakso, dan yang lainnya. "Saya jual rawon Rp 60-70 ribu," ujarnya.

Jadi jika ingin menghitung Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk daging sapi berdasarkan rata-rata jenis daging saat ini menurutnya ada di angka Rp 101-103 ribu. Ia lantas heran jika pemerintah mengaku mampu menjual harga daging sapi Rp 85 ribu per kilogram dari sapi lokal NTT. "Hitungannya saya tidak kena, apalagi ukuran sapi lokal lebih kecil dari pada sapi impor," katanya. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement