EKBIS.CO, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta Kamis pagi (24/3) bergerak melemah sebesar 58 poin menjadi Rp 13.248 dibandingkan sebelumnya di posisi Rp 13.190 per dolar AS.
"Dolar AS terlihat masih kuat di pasar uang Asia, termasuk di Indonesia walaupun tekanannya cenderung berkurang," kata Ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta.
Ia mengemukakan bahwa pernyataan beberapa pejabat bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang melihat kenaikan suku bunga AS (Fed fund rate) dalam waktu dekat, serta data penjualan rumah baru AS yang naik menjadi 512 ribu unit pada Februari 2016 yang sesuai dengan konsensus pasar menjadi salah satu faktor yang menekan mata uang di kawasan. "Sentimen dolar AS masih kuat sehingga kenaikan mata uang AS itu dapat bertahan di perdagangan Asia," ujarnya.
Di sisi lain, ujar dia, harga minyak mentah dunia yang cenderung menurun dipicu data produksi minyak Amerika Serikat yang naik melebihi ekspektasi investor menambah sentimen negatif bagi mata uang komoditas, termasuk rupiah. Harga minyak mentah jenis WTI Crude pada Kamis (24/3) pagi ini, berada di level 39,73 dolar AS per barel, turun 0,15 persen. Sementara minyak mentah jenis Brent Crude di posisi 40,27 dolar AS per barel, menguat 0,27 persen.
Dari dalam negeri, ia mengatakan bahwa data inflasi Maret 2016 diperkirakan oleh Bank Indonesia naik ke level 4,5 persen secara tahunan juga menjadi salah satu faktor tekanan bagi rupiah. Ia menambahkan bahwa sentimen negatif juga datang dari lembaga pemeringkat Standard & Poors (S&P) yang sepertinya enggan memberikan peringkat layak investasi ke Indonesia dalam waktu dekat.
"Secara umum belum tersedia faktor positif yang mampu mendorong rupiah menguat terhadap dolar AS sehingga peluang mata uang domestik kembali melemah cukup terbuka," tuturnya.