EKBIS.CO, JAKARTA -- Dokumen Panama Papers dari firma Mossack Fonseca, perusahaan offshore yang diretas dan datanya terpublikasi, mengungkap banyak pihak penghindar pajak.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan pun berupaya mengantisipasi para penghindar pajak ini dengan menerapkan pengampunan pajak (tax amnesty).
Namun, menurut pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy, apa yang ingin diterapkan pemerintah melalui pengampunan pajak tidak akan sepenuhnya efektif, terutama bagi para pengusaha yang menghindari pajak dengan melirik negara-negara tax haven (negara yang memberi perlindungan dari pajak).
"Sepanjang dunia internasional masih mengakui ada negara-negara tax haven, maka aturan tax amnesty itu tidak ada gunanya," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (5/4).
Ia melanjutkan, dan ini sudah terbukti pada beberapa negara yang telah menerapkan aturan tax amnesty sebelum Indonesia. Ichsanuddin mengungkapkan, dengan gambaran tersebut, pengampunan pajak dengan negara tax haven ini, tidak serta-merta orang mau mengembalikan pajaknya ke negara asal walau diampuni sekalipun.
"Orang tetap tidak mau. Lha, dia di sana dia tetap bebas kok tidak bayar pajak. Kenapa harus bayar ke negara dengan pengampunan tax amnesty?" ujarnya.
Ia pun menegaskan bahwa tidak semua dokumen Panama Papers tersebut semuanya terkait dengan bisnis ilegal, transaksi ilegal, dan perusahaan ilegal. Ada pihak yang memang menghindari pajak karena mereka berbisnis di perusahaan internasional, bukan di perusahaan dalam negerinya.
"Jadi menghindari pajak itu tergantung dari sisi mana melihatnya," ucapnya.
Walau memang, ada juga pihak yang memanfaatkan tax haven ini untuk keperluan bisnis ilegal, seperti pencucian uang, bisnis senjata, hingga kejahatan internasional lain.
Sebelumnya Menkeu Bambang Brodjonegoro berharap aturan rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak atau tax amnesty yang telah diajukan dapat segera disahkan DPR. Sebab, menurut Menkeu, program tax amnesty akan memberi tambahan likuiditas bagi pemerintah.