EKBIS.CO, JAKARTA –- Pemerintah perlu mengubah strategi pengelolaan pengadaan beras di dalam negeri karena dinilai sudah tidak efektif. Kebijakan yang diterapkan saat ini, ujar pengamat pertanian Husein Sawit, tak mampu lagi menciptakan pengadaan beras dengan harga murah.
Selama kurun 2001-2015, Husein mengatakan kesenjangan antara harga beras dan gabah semakin melebar, terutama, antara harga gabah dengan harga beras premium. “Ini terjadi karena harganya terlalu mahal atau rantai pengadaan semakin panjang sehingga banyak orang yang terlibat di dalamnya,” ujar dia di Jakarta dalam sebuah diskusi mengenai beras, Sabtu (23/4).
Husein mengatakan margin perdagangan dan transportasi sangatlah rendah, sekitar 10 persen. Margin tinggi justru terletak dalam tahapan pengolahan. Padahal, kalau biaya pengolahan mahal, maka harga beras otomatis akan ikut mahal.
Melihat kondisi itu, Husein menyarankan perlunya sinergi dengan memberdayakan penggilingan kecil sebagai representasi dari perindustrian di perdesaan. Penggilingan kecil perlu desain ulang untuk menghasilkan beras pecah kulit. “Untuk mencapai ke arah itu, pemerintah perlu melakukan revitalisasi dengan cara memberikan insentif bagi mereka untuk membangun dryer,” ujar dia menyarankan.
Dengan adanya dryer, Husein menyatakan, penggilingan kecil bisa beroperasi sepanjang waktu. Selanjutnya, beras pecah kulit itu dikirim ke penggilingan besar untuk diolah menjadi beras yang berkualitas. Melalui penataan seperti ini, dia meyakini tata niaga beras bisa lebih efisien, dan harganya tidak akan tinggi seperti sekarang.
Revitalisasi penggilingan pagi ini, Husein memperkirakan, membutuhkan waktu dua tahun. Bila program ini telah berjalan, ia meyakini, kelak Bulog pun akan terbantu menjalankan program penyerapan beras petani. Dengan begitu, pemerintah bisa lebih efektif memberikan tugas penyerapan beras kepada Bulog.
Pengamat ekonomi Indef Enny Sri Hartati mengatakan permasalahan beras saat ini, disebabkan pemerintah tidak bisa menghadirkan kebijakan yang pro terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Bulog dinilai memiliki kendala yang membuatnya tidak optimal menyerap beras petani. “Kelembagaan Bulog rapuh,” ujar dia.
Bulog, Enny menyontohkan, memiliki banyak induk semang, seperti Kementan, Kemendag, Kemensos, dan Kemen BUMN. Dirut Perum Bulog bisa kesulitan menghadapi model kelembagaan seperti itu. Padahal beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang ketersediaanya wajib dijamin dengan harga terjangkau.