EKBIS.CO, JAKARTA -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai bahwa kebijakan importasi ikan untuk menutup kekurangan bahan baku industri pengolahan di tengah kenaikan produksi ikan secara nasional adalah kejanggalan sistematis. Wakil Sekjen Dewan Pengurus Pusat (DPP) KNTI Niko Amrullah menilai kebijakan ini justru menciderai nelayan kecil, yang menaruh harapan besarnya terhadap pemerintah.
Terlebih, lanjut Niko, Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan yang meningkat di tengah kelesuan ekonomi global, menunjukkan performa ekonomi perikanan yang baik. Sehingga ia menyebut janggal abila impor ikan menjadi pilihan.
KNTI merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di mana produksi total perikanan tangkap di laut menunjukkan tren peningkatan dari 4.812.235 ton di tahun 2009 menjadi 5.779.990 ton di 2014 dengan kenaikan rata-rata sebesar 3,75 persen dan 1,28 persen pada kurun 2013 sampai 2014.
Untuk jenis Ikan Tuna, terjadi peningkatan dari 163.965 ton pada 2009 menjadi 310.560 ton pada 2014. Sedangkan untuk Udang, meningkat dari 236.870 ton di 2009 menjadi 255.410 ton di 2014.
Selain itu, lanjut Niko, BPS merilis angka deflasi di bulan April tahun 2016 mencapai 0,45 persen[2], dengan penyumbang deflasi diantaranya adalah kelompok bahan makanan termasuk ikan segar dan ikan olahan. "Penurunan harga ikan ini karena stok yang berlebih," kata Niko, Kamis (9/6).
Niko menambahkan bahwa kebijakan importasi ini kontra produktif dengan kebijakan yang ditempuh pemerintah sendiri dalam urusan kedaulatan di sektor hulu perikanan. Bahwa dibukanya investasi di sektor pengolahan perikanan, harus gayung bersambut dengan serapan produksi ikan dari nelayan domestik.
"Celakanya, peningkatan rata-rata Nilai Tukar Nelayan (NTN) pada 2 tahun terakhir (2014-2015) dianggap keberhasilan, padahal bila ditelaah bulan per bulan pada setiap tahunnya, menunjukkan pola yang sama. Jadi, peningkatan ini lebih disebakan karena faktor inflasi, bukan keberhasilan intervensi pemerintah," ungkap Niko.