EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menilai keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) seperti hasil referendum pada Jumat (24/6) siang ini, akan mengalihkan modal di pasar keuangan global ke AS dan Jepang, sebagai dua negara yang saat ini diyakini memiliki prospek ekonomi baik.
Menurut Gubernur BI Agus Martowardojo, dampak Brexit juga akan menyentuh pasar keuangan Indonesia, namun besaran dampaknya dinilai tidak akan signifikan. Hingga Jumat (24/6) pagi, kata Agus, rupiah terdepresiasi sebesar 1 persen menjadi sekitar Rp 13.400 dari sekitar Rp 13.260 per dolar AS pada Kamis (23/6) kemarin.
"Secara umum kita yakini ini adalah sifatnya temporer," ujarnya di Jakarta, Jumat (24/6).
Sedangkan hingga Jumat siang ini, mata uang Inggris poundsterling tertekan cukup dalam hingga 11 persen, yang menunjukkan depresiasi tertajam sejak 30 tahun lalu. Untuk mata uang Euro, terpantau penurunan nilai tukar di rentang 1-2 persen.
Agus mengklaim dampak Brexit ke Indonesia hanya sementara karena kondisi fundamental ekonomi domestik terus membaik. Hal itu akan mempertahankan kepercayaan pelaku pasar.
"Kondisi inflasi yang terjaga terlihat pekan ketiga inflasi Juni di 0,56 persen, dan juga defisit neraca transkasi berjalan yang diperkirakan secara umum berada di 2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)," ujar dia.
Sedangkan dana masuk hingga pekan ketiga Juni, kata Agus, tercatat Rp 70 triliun, atau terlipatgandakan dibanding periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 30 triliun.
Agus mengatakan ke depannya, proses politik keluarnya Inggris dari Uni Eropa masih akan beranjut. Inggris harus mengajukan permintaan secara resmi untuk keluar dari UE sesuai dengan perjanjian UE (EU Treaty).
Dalam permintaan itu, kata Agus, akan terjadi negoisasi, yang juga menyangkut kepentingan ekonomi, seperti misalnya negoisasi soal tarif perdagangan dari atau menuju ke Inggris. "Itu implikasinya lebih jangka panjang," katanya.
Namun, kata Agus, saat ini, perdagangan Indonesia tidak akan terkenda dampak yang signifikan dari hasil refrendum Brexit, karena nilai perdagangan antara Indonesia dan Inggris yang tidak begitu besar.