EKBIS.CO, JAKARTA -- Meski saat ini ada gejolak di perekonomian global akibat Brexit (Britain Exit) atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Bank Indonesia (BI) menyatakan, ruang pelonggaran kebijakan moneter selanjutnya di sisa 2016 masih sangat terbuka. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, pelonggaran moneter hingga akhir 2016 ini memang dinilai masih mungkin dilakukan.
"Apabila dilihat dari tingkat bunga acuan dibandingkan cukup rendahnya inflasi, dan stabilitas rupiah yang masih cukup terjaga maka pelonggaran moneter masih mungkin dilakukan," ujar Eko Listiyanto pada Republika.co.id, Rabu (29/6).
Kendati begitu, menurut Eko, justru risiko yang cenderung meningkat bersumber dari dalam negeri. Mulai dari risiko defisit fiskal yang melebar, dan penurunan ekspor sebagai penghasil devisa.
"Kemudian kredit perbankan yang melambat dan masih jauh dari target di awal tahun, hingga masalah pertumbuhan ekonomi yang masih melambat," ujarnya.
Terkait dengan pertumbuhan kredit, meski Bank Indonesia telah memberikan insentif, namun Eko menilai pertumbuhan kredit belum ada tanda-tanda pemulihan di semester II ini.
"Perkiraan saya kredit akan tetap melambat, karena daya beli masyarakat menurun, dan belum ada tanda-tanda pemulihan di semester dua nanti," ujarnya.
Sementara itu, Ekonom dari Kenta Institute Eric Sugandi menilai, dampak dari kebijakan makroprudensial BI ini akan mulai terasa di semester II 2016, tetapi diyakini akan lebih kuat tahun depan. Eric menjelaskan, meski tren suku bunga turun dan BI terus melonggarkan kebijakan moneter, tapi demand terhadap kredit masih lambat.
"Investor banyak yang masih wait and see karena ada gejala pelemahan daya beli masyarakat. Saya berharap penurunan LTV bisa jadi salah satu motor penggerak kredit," kata Eric.
Sebelumnya bank sentral melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial dengan menaikkan batas bawah rasio pinjaman terhadap pendanaan bank (Loan to Funding Ratio/LFR) menjadi 80 persen dari 78 persen yang akan meningkatkan pasokan kredit perbankan.
Selain itu, bank sentral juga memberikan insentif lain yaitu dengan pelonggaran rasio pinjaman kredit dari agunan (Loan to Value/LTV) dan Financing to Value/FTV untuk Kredit Pemilikan Rumah menjadi 85 persen dari 80 persen. Kedua kebijakan ini diyakini dapat mendorong permintaan kredit konsumer tersebut.