EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian mencatat bahwa ekspor minyak kelapa pada semester I 2016 turun 30,8 persen yakni dari 885 juta dolar AS menjadi 613 juta dolar AS. Penurunan ini disebabkan oleh tingginya ekspor bahan baku sehingga industri pengolahan kesulitan untuk hilirisasi produk.
"Ekspor kelapa tidak dipungut biaya sementara di dalam negeri kena dipungut PPn 10 persen, jadi kelapa cenderung diekspor sehingga industri kekurangan bahan baku," ujar Direktur Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto di Jakarta, Kamis (25/8).
Panggah menjelaskan, saat ini Kementerian Perindustrian sedang mengkaji pengenaan pajak terhadap komoditas perkebunan. Berdasarkan studi kajian tersebut, ada usulan untuk mengenakan bea keluar, namun hal ini akan berdampak kepada petani. Menurutnya, hal yang paling pokok untuk meningkatkan hilirisasi produk perkebunan yakni dengan menghapuskan PPn.
Bahan baku lainnya yang dikenakan pajak yakni coklat. Panggah mengatakan, coklat dan kelapa penyerapannya untuk industri pengolahan di dalam negeri sudah 100 persen, sedangkan kopi penyerapannya masih 40 persen. "Kami sudah memberikan surat ke Badan Kebijakan Fiskal, kita tunggu saja," kata Panggah.
Sementara itu, ekspor biodiesel dan minyak goreng semester I 2016 juga mengalami penurunan sebesar 18,9 persen yakni dari 9,8 miliar dolar AS menjadi 7,9 miliar dolar AS dibandingkan pada semester I 2015. Penurunan ini disebabkan oleh pengenaan pungutan dana sawit sebesar 20 dolar AS per ton. Panggah menilai pungutan ini terlalu tinggi, semestinya pungutan bisa diturunkan menjadi 5 dolar AS agar industri bisa lebih berdaya saing. Selain itu, pangsa pasar minyak goreng Indonesia di pasar ekspor juga menurun dan lebih banyak diisi oleh produk Malaysia serta Thailand.