EKBIS.CO, JAKARTA –- Indonesia tak punya kekuatan untuk mengendalikan harga kopera di pasar dunia. Padahal, Indonesia merupakan produsen terbesar kopera di dunia. Indonesia memiliki areal tanaman sekitar 3,88 juta hektar dengan produksi sekitar 3,2 juta ton setara kopra, tapi harga kopera justru dikendalikan oleh negara-negara yang bukan penghasil kopera.
Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF), Happy Trenggono mengungkapkan harga kopera dikendalikan harganya oleh bursa berjangka di Rotterdam, Belanda. Heppy mencontohkan kisah pilu para petani kopra di Halmahera Utara.
"Bagaimana tidak, (harga) kopra yang biasanya 12 ribu per kilogram menjelang panen terus merosot ke enam ribu per kilo, lalu terjun bebas ketika musim panen tiba menjadi dua ribu per kilo," ujarnya di acara persiapan pameran dan kongres Beli Indonesia pada 3-5 Oktober 2016 di Gedung SMESCO Jakarta, kemarin.
Bahkan ia mengungkapkan, Bupati Halmahera Utara sampai bingung dan itulah yang diutarakan kepadanya, ketika tim beli Indonesia berkunjung ke Halmahera tahun lalu. Negara yang bukan penghasil kopera tersebut justru memegang kendali. Bahkan di saat terjadi kekurangan pasokan kopera di pasar dunia, harga kopera bisa mereka tekan.
Anomali tersebut terjadi karena lemahnya posisi tawar negara-negara eksportir kopera, termasuk Indonesia.
"Di situ kita sangat lemah dikarenakan pasar atau market tidak kita kuasai. Disitulah Bulog seharusnya menjadi perantara market bagi para petani. Sayangnya Bulog tidak melakukannya. Itu pengakuan pak Bupati Bulog tidak masuk, yang ada Unilever. Mereka datang langsung dan beli dengan harga dua ribu per kilo," katanya.
Di tengah arus globalisasi yang sangat deras, gegap gempitanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), menurutnya, Indonesia harus segera berbenah untuk menciptakan ketahanan perekonomian rakyat agar mereka tidak semakin menderita. Fenomena ambruknya perekonomian rakyat seperti di Halmehera bukan sebuah kejadian tunggal.
Hal ini juga terjadi di berbagai sektor lain seperti pertanian, perternakan, pasar tradisional, warung-warung serta berbagai sektor lainnya terus terjadi dan mewarnai hari-hari rakyat Indonesia di seluruh pelosok tanah air.
"Membeli produk sendiri berarti kita membela bangsa dan saudara sendiri. Inilah pertahanan terakhir menghadapi gempuran produk asing untuk menghindari terjadinya bencana ekonomi Indonesia ke depan. Jika produknya dibeli maka akan bertumbuh industri-industri. Jika industri tumbuh maka tidak perlu lagi anak-anak negeri ini pergi ke luar negeri menjadi TKI karena mereka mudah mendapatkan penghidupan di negeri sendiri," ujar dia.