EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia mengkhawatirkan laju inflasi pada 2017 naik akibat anomali iklim yang berdampak pada gejolak harga pangan dan adanya rencana kenaikan tarif listrik 900 watt yang berdampak pada kenaikan harga bahan pokok.
"Hingga akhir 2016 tingkat inflasi diperkirakan masih terkendali, namun pada 2017 diperkirakan naik, mengingat hingga kini hampir sebagian besar daerah di Indonesia lebih awal dilanda hujan yang akan berpengaruh terhadap menurunnya produksi pangan," kata Asisten Direktur Departemen Ekonomi Moneter BI Handri Adiwilaga di Jakarta, Selasa (11/10).
Selama ini, katanya, tekanan inflasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh gangguan pasokan dan distribusi pangan, termasuk kebijakan strategis dari pemerintah (administered prices), sehingga peran Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) harus dioptimalkan untuk menekan laju inflasi. "TPID memiliki peran penting dalam pengendalian inflasi karena tiap daerah memiliki 24 urusan wajib yang sangat mempengaruhi inflasi, antara lain kebijakan sektor pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, tenaga kerja, perhubungan, pangan, dan penanaman modal," katanya.
Menurutnya, inflasi yang terjadi antara daerah satu dengan daerah lainnya menunjukkan perbedaan.
Hal ini terjadi karena tingkat kelengkapan dan kualitas infrastruktur logistik tiap daerah yang berbeda, kemudian tingkat kemampuan produksi pangan lokal, kebijakan pemerintah daerah dan struktur pasar daerah yang berbeda sesuai karakteristk dan kondisi wilayah setempat. "Inflasi yang terjadi antara daerah satu dengan daerah lainnya menunjukkan perbedaan, karena tingkat kelengkapan dan kualitas infrastruktur logistik tiap daerah yang berbeda, kemudian tingkat kemampuan produksi pangan lokal, kebijakan pemerintah daerah, dan struktur pasar daerah," katanya.
Sekalipun inflasi tahun depan diperkirakan akan naik, namun secara spesifik, kata dia, hingga Agustus 2016 inflasi masih terkendali terutama dipengaruhi oleh rendahnya inflasi dari dua pulau, yakni Jawa dan Sumatra. Di Nusa Tenggara Timur bahkan mengalami deflasi pada September 2016 sebesar 0,17 persen setelah sebelumnya pada Agustus 2016 juga mengalami deflasi sebesar 0,80 persen. "Meskipun deflasi September ini tergolong kecil, namun sudah dua bulan berturut-turut daerah berpenduduk 5,3 juta jiwa ini mengalami deflasi," katanya.
Ia mengatakan deflasi di NTT disebabkan penurunan indeks harga pada dua dari tujuh kelompok pengeluaran yakni bahan makanan, transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. "Deflasi ini terjadi disebabkan oleh turunnya indeks harga pada dua dari tujuh kelompok pengeluaran," katanya.
Kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks harga terjadi pada kelompok bahan makanan yang turun sebesar 1,30 persen dan kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan yang turun sebesar 0,98 persen. "Kelompok pengeluaran yang mengalami kenaikan indeks harga tertinggi terjadi pada kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga yang naik 0,74 persen dan diikuti oleh kelompok sandang yang naik 0,69 persen. Sedangkan di sejumlah provinsi lain terjadi inflasi yang cukup tinggi seperti di Kalbar, Kalsel, dan Papua.