EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fadli Zon mengajak agar seluru warga terlihat dalam mengatakan persoalan pangan. Salah satunya yakni dengan bertani.
Menurutnya, tantangan Indonesia dalam urusan pangan akan semakin berat ke depan. Salah satu indikator adalah tingginya angka impor dan defisit perdagangan pangan. Hal ini disampaikan Fadli Zon untuk memperingati hari pangan sedunia yang jatuh pada 16 Oktober.
Fadli Zon mengungkapkan, sejak 2007 Indonesia mengalami defisit perdagangan pangan. Impor pangan melejit lebih cepat daripada ekspor, sehingga defisit terus melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia kini mencapai 4,87 perseb per tahun, dan tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi nasional.
“Itu sebabnya hingga kini kita masih mengimpor komoditas pangan strategis, seperti misalnya beras, jagung, kedelai, tepung terigu, gula pasir, dan bahkan garam,” kata Fadli yang sekaligus sebagai Ketua UmumHimpunan Kerukunan Tani Indonesia, Ahad (16/10).
Bahkan kata Fadli Zon, angkanya juga terus meningkat. Tahun lalu, total impor pangan menguras devisa hingga 8,846 miliar dolar AS, atau sekitar Rp116,5 trilyun.
Untuk tahun ini, pada semester pertama 2016 saja nilai impor pangan sudah sebesar 5,4 miliar dolar AS, atau setara Rp 70,1 triliun dengan volume 14,6 juta ton. Jumlah ini naik sekitar 12,2 persen jika dibandingkan angka pada periode yang sama tahun 2015. Hingga akhir tahun, angkanya akan lebih besar lagi.
Baca juga, Akademis: Pertanian Indonesia Sarat Unsur Budaya.
Ketergantungan yang tinggi terhadap impor pangan ini, menurut Fadli, disebabkan oleh banyak faktor. Namun, dia menilai ada dua faktor mencolok yang membuat kenapa produksi pangan kita tidak pernah mencukupi kebutuhan. “Pertama adalah alih fungsi lahan produktif, dan kedua adalah mandegnya regenerasi petani di Indonesia.” katanya
Kemudian di Jawa dan Bali, angka rata-rata konversi lahan pertanian masing-masing sekitar 7.923 hektar per tahun dan 1.000 hektar per tahun. Angka ini tentunya memprihatinkan. Sebab Jawa berkontribusi terhadap 53% produksi pangan nasional.
“Hal kedua adalah mandegnya regenerasi petani. Bayangkan, usia rata-rata petani Indonesia adalah 52-54 tahun, sangat tua sekali, padahal kita saat ini sedang mengalami bonus demografi penduduk usia muda. Menurut sensus, antara 2010 hingga 2014, jumlah petani dengan usia produktif, yaitu antara 15-29 tahun, memang mengalami penurunan signifikan, yaitu dari 9,3 juta, menjadi sekitar 8 juta,” kata Fadli.
Di luar pendekatan struktural atas sektor pangan di Indonesia, yang masalah dan pemecahannya sudah banyak dibahas oleh para ahli dan pemerintah, Fadli mengusulkan agar problem tersebut juga coba dipecahkan dan dilengkapi dengan pendekatan baru. Ia menyebutkan bahwa soal ketahanan pangan ke depan tidak boleh hanya dibebankan kepada para petani saja.
Secara struktural, produksi pangan memang dikerjakan oleh para petani di lahan pertanian. Namun secara kultural, harus memiliki sejenis tanggung jawab etik bahwa soal ketersediaan pangan merupakan tanggung jawab setiap orang. Itu sebabnya, semua orang harus belajar bertani dan melakukan praktik pertanian. “Ini salah satu isu yang akan dikampanyekan oleh HKTI,” ucapnya.
Ia melanjutkan, perlu dijadikan prinsip bahwa setiap keluarga di Indonesia diharapkan bisa memenuhi sebagian kebutuhan pangannya secara subsisten. Sehingga, setiap orang jadi tergerak untuk bertani. Misalnya saja, dengan memanfaatkan lahan pekarangan, atau bagi masyarakat perkotaan melalui pertanian dalam pot, mereka menanam bumbu-bumbu dapur atau sayuran yang sering dikonsumsinya.