EKBIS.CO, JAKARTA -- Rasio utang pemerintah yang cukup besar dalam anggaran negara dinilai tak selalu buruk. Hal itu jika pemanfaatannya disalurkan ke sektor produktif.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla merincikan, sekitar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 ditujukan untuk membayar utang pemerintah. Nominalnya hampir mencapai Rp 500 triliun.
Selain itu, berdasarkan penjelasan APBN 2017, pembiayaan utang ditujukan untuk menutupi defisit anggaran Rp 330,2 triliun. JK bahkan mengatakan bahwa belanja subsidi pada masa pemerintahan sebelumnya, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam dua tahun saja sudah mencapai Rp 390 triliun atau sekitar 30 persen dari APBN.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Eko Listianto menilai, penjelasan perkara utang yang dilakukan untuk membayar utang di masa lalu adalah konskuensi dari kebijakan pemerintah yang mau tak mau harus dilakukan demi menjaga pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, persoalan utang ini bukan perkara rezim dan pemerintahan. Bahkan ia menyebutkan bahwa utang di era kepemimpinan Presiden Jokowi justru menunjukkan tren meningkat, dengan tujuan pembangunan infrastruktur. Artinya, menurutnya, utang bukan suatu hal yang selalu buruk ketika pemanfaatannya bisa disalurkan ke sektor produktif.
"Ini bukan masalah rezim ya. Kebijakan defisit APBN itu kan memang dari tahun ke tahun memang begitu. Jadi kalau dilihat dari sisi kebijakan, ini konsekuensi dari kebijakan fiskal yang defisit," kata Eko, Jumat (28/10).
Terlebih lagi, di pemerintahan Jokowi ini justru pemerintah harus mengalami shortfall (realisasi lebih rendah dari target) penerimaan pajak yang cukup tinggi. Penerimaan pajak yang seret pun membuat pemerintah tetal menerbitkan surat utang negara untuk menutup defisit. Kebijakan utang, kata dia, juga menjadi konsekuensi ketika anggaran pemerintah selalu defisit.
Hal itu, kata dia, sebetulnya bisa diperbaiki namun dalam waktu yang cukup lama dengan cara menekan utang secara perlahan dan di satu sisi menggenjot penerimaan negara khususnya dari pajak. Hanya saja, menekan utang memiliki implikasi politis yakni berkurangnya pembangunan infrastruktur. Terlebih, pemerintah sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur.
"Nah dari periode ke periode kan meningkat utang kita. Apalagi peningkatan utang terbesar justru di dua tahun di Jokowi ini, karena ada shortfall yang cukup besar sehingga meningkat. Walaupun belum jatuh tempo," ujarnya.
Pembiayaan utang untuk tahun ini disalurkan sebanyak Rp 384,690 triliun, pembiayaan investasi negatif Rp 47,488 triliun, pemberian pinjaman negatif Rp 6,409 triliun, kewajiban penjaminan negatif Rp 924,1 miliar, dan pembiayaan lainnya sebesar Rp 300,0 miliar.