EKBIS.CO, JAKARTA -- Pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) memiliki kendala dari segi pendanaan. Tingginya harga proyek ini belum bisa sebanding dengan harga jual listrik baik kepada industri ataupun masyarakat.
Ketua bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Asosiasi Pegusaha Indonesia (Apindo) Sammy Hamzah mengatakan, EBT memang menjadi hal penting di tengah perkembangan kondisi energi dari fosil yang akan habis di kemudian hari. Meski harga pembangunan proyek ini membutuhkan dana yang tidak kecil, tapi tetap harus dilakukan untuk menunjang keperluan energi dalam negeri.
"Investasi ini harus ditingkatkan. Eksplorasi energi fosil akan terus berkurang, maka Indonesia perlu eskplorasi baru di sektor lain yaitu energi terbarukan," kata Sammy dalam diskusi Toward Energy Transformation, Rabu (30/11).
Namun, dengan dana yang terbatas Pemerintah membutuhkan sejumlah skema agar investasi dari sektor swasta mau masuk membangun proyek EBT. Tantangannya jelas, bagaimana Pemerintah membuat iklim investasi di sektor ini bisa lebih menggairahkan bagi pelaku usaha. Jika tidak sudah pasti investor enggan menggelontorkan dana mereka pada proyek pembangunan EBT.
Menurut Sammy, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan skema groos split. Cara ini merupakan masukan dari pelaku industri yakni sistem bagi hasil di mana pemerintah tidak usah membayar cost recovery. Namun, sebagai konsekuensinya, jatah bagi hasil pemerintah menjadi lebih kecil di dalam bagi hasil (split).
Selain itu, sistem pembelian hasil dari produk EBT dan pajak yang dikenakan kepada pelaku industri juga harus diperhitungkan secara matang. Jika hitung-hitungan ini dirasa masuk akal oleh pelaku usaha, mereka akan ikut serta dalam membangun proyek EBT.
Apalagi proyek energi ini tidak akan redup seiring pertumbuhan perekonomian sebuah negara. "Kami berharap agar skema-skema ini bisa dijalankan oleh pemerintah," ungkapnya.