Jumat 02 Dec 2016 06:30 WIB

Opera Kecoa, Cermin Realitas Kehidupan

Red: Dwi Murdaningsih
General Manager CSR BCA Inge Setiawati menunjukkan booklet Opera Kecoa bersama penerima Beasiswa Bakti BCA dari UI, peserta Program Pendidikan Akuntansi (PPA) Non Gelar, dan Program Pendidikan Teknik Informatika (PPTI) Non Gelar.
Foto: BCA
General Manager CSR BCA Inge Setiawati menunjukkan booklet Opera Kecoa bersama penerima Beasiswa Bakti BCA dari UI, peserta Program Pendidikan Akuntansi (PPA) Non Gelar, dan Program Pendidikan Teknik Informatika (PPTI) Non Gelar.

EKBIS.CO, Penulis dan Sutradara Teater Koma Nano Riantiarno berhasil mengemas humor, sindiran, dan realitas sekaligus dalam ‘Opera Kecoa’. Bagaimanapun juga, Opera Kecoa merupakan cermin realitas kehidupan Indonesia, terutama di Jakarta. Segala ironi yang ada dalam Opera Kecoa memang benar-benar ada di negeri kita.

Konflik utama dalam drama ini adalah pergulatan orang-orang 'terbuang' untuk bertahan hidup dan memperjuangkan nasib mereka. Akan tetapi, mereka seakan-akan sudah digariskan untuk selalu kalah. Orang-orang yang berkuasa pada akhirnya selalu mengalahkan mereka-membakar kawasan kumuh.

Ketika akhirnya kedua pihak tersebut sudah siap berperang, Roima menghimbau orang-orang “terbuang” untuk kembali ke tempat asal mereka. Maka kembalilah mereka ke dalam got-tempat yang sudah seharusnya.

Nano melakonkan perjuangan seorang bandit kelas teri, Roima, yang sedang berada di persimpangan jalan. Dia tertarik kepada Tuminah, seorang Pekerja Seks Komersial yang sudah punya pacar seorang waria bernama Julini. Meskipun hidupnya susah, Julini pantang meminta-minta.

Dengan caranya sendiri, ia berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Cintanya yang teramat besar pada Roima membuatnya rela bekerja membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua dan membelikan barang-barang bagus untuk Roima. Ia merasa tidak berdaya pada kenyataan bahwa ia tidak akan bisa mempunyai anak dari Roima.

Masih ada beberapa tokoh lain yang cukup punya andil dalam Opera Kecoa, diantaranya Tarsih (pemilik rumah bordil yang menampung PSK-PSK miskin), Kumis (bos kelompok bandit), Bleki (pengikut setia Kumis), pejabat setempat (langganan Tuminah, dan tamu pejabat dari Jepang.

Akan tetapi, tokoh yang paling menarik adalah Tukang Sulap. Ia selalu membujuk orang-orang untuk membeli obat semprot anti kecoa. Kecoa, yang merupakan simbol orang-orang 'terbuang', menurutnya sangat berbahaya dan harus dibasmi sebelum mengambil alih dunia. Apakah demikian pula pemikiran para penguasa sehingga mereka membakar kawasan kumuh tempat tinggal para kecoa - orang-orang 'terbuang'.

PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) terus mewujudkan komitmennya untuk mendorong pembentukan karakter generasi muda melalui seni dan budaya dengan mengundang penerima beasiswa Bakti BCA dari Universitas Indonesia, peserta Program Pendidikan Akuntansi (PPA) Non Gelar, peserta Program Pendidikan Teknik Informatika (PPTI) Non Gelar dan anak-anak karyawan BCA untuk bersama-sama menyaksikan pertunjukan seni teater ‘Opera Kecoa’.

Produksi ke- 146 Teater Koma ini digelar pada 10-20 November 2016 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Hadir pada acara nonton bareng ini General Manager Corporate Social Responsibility BCA Inge Setiawati.

Bakti BCA melalui pilar Solusi Cerdas, kata Inge, tidak hanya memberikan bantuan materil dan mendukung para penerima beasiswa dan anak karyawan untuk berprestasi dalam pendidikan formal, namun kami juga menaruh perhatian pada pembentukan karakter mereka supaya kelak dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakat.

Salah satu wadah yang baik dan dekat dengan generasi muda adalah teater. Banyak nilai dan pembelajaran yang dapat diperoleh dari seni teater. Mulai dari alur cerita yang menjelaskan pesan moral pembelajaran sampai dengan keindahan seni yang merangsang daya imajinasi dan kreativitas.

”Pertunjukan yang ditampilkan dalam bentuk nyanyian dan gerak khas Teater Koma ini akan menyuguhkan pesan moral yang baik untuk mahasiswa dan anak karyawan yang hadir. Sama seperti para tokoh yang melakoni perjuangan hidup dan hanya punya dua pilihan, generasi muda pun hanya memiliki dua pilihan: bertahan atau tersingkir dalam kehidupan,” kata Inge di Taman Ismail Marzuki (11/11).

Program nonton bareng pertunjukan karya Teater Koma ini bukanlah yang pertama kali diselenggarakan BCA. Pada Maret lalu, BCA mengajak 100 siswa-siswi  3 (tiga) SMA Sekolah binaan Bakti BCA yang berasal dari SMAN 3 Serang, SMAN 1 Gadingrejo, dan SMAN 1 Karangmojo, beserta para guru pendamping untuk menyaksikan pertunjukan karya Teater Koma yang ke 143 berjudul Semar Gugat.

Dengan Teater Koma sendiri, BCA telah mendukung pelaksanaan pertunjukan karya Teater Koma, di antaranya pada Semar Gugat, Opera Ular Putih, Republik Cangik, Demonstran, Sie Jin Kwie, Sampek Engtay, dan Ibu. ”Seluruh dukungan BCA kepada Teater Koma merupakan komitmen kami dalam melestarikan dan mendukung pengembangan budaya nasional, seni, sekaligus membentuk karakter bangsa Indonesia,” kata Inge.

ADV

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement