Senin 19 Dec 2016 22:34 WIB

Ini Tantangan Migas 2017 RI Versi Arcandra Tahar

Red: Citra Listya Rini
 Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar.

EKBIS.CO, JAKARTA  --  Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, tantangan terbesar industri minyak dan gas bumi (migas) pada tahun 2017 adalah terletak pada sektor teknologi pendukung.

"Ladang sumur minyak Indonesia sudah tua, produksi sudah tidak bisa maksimal. Untuk bisa meningkatkan tingkat kekuatan produksi, haruslah memerlukan dukungan teknologi yang mumpuni. Apakah Indonesia punya?" tanya Arcandra ketika menghadiri diskusi outlook migas 2017 di Jakarta, Senin (19/12).

Menurut Arcandra, Indonesia masih belum diketahui di mana letak cadangan migas yang tersisa karena memang belum ada teknologi yang mampu mendeteksi secara tepat keberadaan migas.

Tingkat kompleks permasalahan teknologi tersebut yang membuat biaya mahal untuk upaya eksplorasi sebab tidak semua memiliki teknologi yang memadai walau sumber daya manusia sudah mumpuni.

Dengan adanya kehadiran teknologi, efisiensi produksi migas dapat dicapai. Salah satu solusinya adalah bermitra dengan pihak swasta atau asing yang memiliki dukungan teknologi tersebut.

Metode gross split menjadi salah satu solusi efisiensi produksi dengan manghapuskan skema cost recovery. Gross split dapat memangkas pembagian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena bekerja sama atau sharing sesuai dengan fungsi dan kinerja masing-masing pihak.

Saat ini, kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) migas antara negara dan kontraktor masih menggunakan skema cost recovery atau terhitung setelah biaya operasional tertutup dari hasil produksi.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan bahwa industri minyak dan gas bumi akan memfokuskan pada efisiensi berbasis hasil produksi. "Hingga saat ini, produksi belum efisien. Oleh karena itu, kebijakan migas ke depan yang pertama adalah soal efisiensi produksi," kata Jonan.

Alasan berfokus pada efisiensi produksi adalah karena harga migas tidak menentu dan tidak ada yang memiliki takaran untuk menentukan. Selanjutnya yang kedua adalah Indonesia harus belajar lebih menjadi industri kompetitif dan memahami pasar.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement