EKBIS.CO, TASIKMALAYA -- Mantan Gubernur Bank Indonesia periode 2003-2008, Burhanuddin Abdullah, mengatakan paket kebijakan ekonomi di era pemerintah Joko Widodo terlalu banyak. Ia pun menilai sebelum paket kebijakan ekonomi berjalan efektif malah sudah ada yang baru.
Pria yang juga sempat menjabat Menko bidang ekonomi tersebut menyatakan paket kebijakan ekonomi juga terlalu cepat ditetapkan sebelum paket kebijakan diimplementasikan. Selain itu, ia mengingatkan bahwa paket kebijakan perlu medapat dukungan politik dan masyarakat agar mampu efektif.
"Paket kebijakan mungkin terlalu banyak dan cepat, lupa bahwa yang penting itu implementasi. Political will saja tidak cukup tapi ada kapasitas untuk implementasi, kapasitas ditunjukan tiga hal yaitu uangnya (modal) ada, orangnya ada yang laksanakan dan dapat dukungan politik dari semua elemen masyarakat," katanya saat hadir mengisi materi di kantor Bank Indonesia perwakilan Kota Tasikmalaya, Selasa (27/12).
Ia mengingatkan tingginya angka pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahan SBY terjadi tak hanya faktor internal, karena faktor eksternal yang cenderung lebih besar. Ia menyebut pertumbuhan ekonomi Tiongkok memnyebabkan tingginya harga komoditas. Implikasinya, neraca pembayaran surplus dan cadangan devisa meningkat. Alhasil, angka pertumbuhan ekonomi bisa berada di kisaran tujuh persen.
Sedangkan di akhir pemerintahan SBY dan memasuki pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi cenderung menurun. Sebab pertumbuhan ekonomi Tiongkok malah melambat dan harga komoditas menurun jauh. Ia pun menyimpulkan tanpa adanya investasi asing dengan jumlah besar, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan mengalami peningkatan berarti.
"Pemerintahan Jokowi harus puas dengan angka pertumbuhan ekonomi kurang dari lima persen, hanya itu yang bisa kita capai. Tahun depan 5,1 persen targetnya. Bisa dikatakan berat atau hampir tidak mungkin kalau tidak ada investasi deras dari asing jika mau tumbuh tujuh persen," ujarnya.