EKBIS.CO, JAKARTA -- Rumput laut berpotensi dikembangkan menjadi berbagai produk turunan. Hal itu meliputi hidrokoloid, biofuel, fertilizer, fiber, serta makanan. Hanya saja, perintis Budidaya Rumput Laut di Indonesia Hariadi Adnan mengatakan, saat ini pemanfaatan terbesar rumput laut adalah sebagai hidrokoloid. Sedangkan pemanfaatan lainnya masih dalam skala kecil atau masih dalam tahap penelitian serta uji coba.
"Hidrokoloid adalah suatu polimer larut dalam air yang mampu membentuk koloid dan mampu mengentalkan larutan. Ada 19 jenis hidrokoloid lain yang bisa menjadi pengganti sehingga mengancam rumput laut Indonesia jika budidaya dan perdagangannya tidak dicermati," jelas Hariadi, saat ditemui di Focus Group Discussion, di Gedung Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Jakarta, Selasa, (10/1).
Ia mengungkapkan ada dua jenis rumput laut paling komersil di Indonesia, yaitu eucheuma dan gracilaria. Budidaya gracilaria dilakukan di tambak serta air payau. Sedangkan eucheuma di pesisir pantai atau air asin. "Eucheuma menghasilkan carageenan yang merupakan bahan pencampur pada produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan lainnya. Kalau gracilaria menghasilkan agar-agar," tuturnya.
Namun Hariadi menegaskan, rumput laut tak bisa dijadikan produk yang berdiri sendiri melainkan sebagai campuran untuk membuat beragam produk. Sebelum dicampur, carageenan atau agar-agar tadi perlu melewati proses formulasi. "Jadi sebetulnya prosesnya tidak segampang komoditas lain. Proses formulasi itu di Indonesia belum dilakukan, jadi masih bergantung dengan luar negeri," tambah Hariadi.
Meski begitu, ia menyatakan, Indonesia menjadi negara nomor satu untuk produksi eucheuma dan gracilaria. Baik sebagai bahan maupun olahan.