EKBIS.CO, JAKARTA -- Surplus neraca perdagangan naik di Desember 2016 menjadi 992 juta dolar AS dari 834 juta dolar AS, karena perlambatan pertumbuhan ekspor dan impor masing-masing menjadi 15,6 persen yoy dan 5,8 persen yoy. Kenaikan neraca perdagangan ini menjadi sentimen positif untuk penguatan rupiah ke depannya.
Analis Riset Samuel Sekuritas, Rangga Cipta mengatakan, surplus neraca perdagangan yang relatif tinggi diperkirakan akan terus terjadi melihat pertumbuhan positif ekspor melebihi pertumbuhan impor.
"Tren neraca perdagangan secara historis menjadi tulang punggung dari tren rupiah sehingga kurs rupiah terhadap dolar AS diperkirakan bisa menguat di jangka panjang," ujar Rangga pada Republika.co.id, Senin (16/1).
Rangga memperkirakan, rasio defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal IV 2016 diperkirakan berada di kisaran 1,8 persen sehingga rasio CAD pada akhir 2016 akan berkisar di 2 persen. Sedangkan pada akhir 2017 diproyeksikan di kisaran 1,8 persen terhadap PDB.
Kebijakan moneter yang telah didorong longgar sepanjang 2016 oleh BI, kata Rangga, diperkirakan mulai memasuki fase jenuh dan siap memulai periode kenaikannya. Meskipun tersedianya likuiditas dolar AS bisa menjadi penunda. BI mulai kembali mengatakan ada ruang untuk pelonggaran moneter di awal tahun.
"Potensi kenaikan inflasi diperkirakan menjadi penyebab utama kembalinya tren kenaikan suku bunga ke depan," ujar Rangga.
Survei BI di pekan pertama Januari 2017 menunjukkan inflasi naik ke 3,26 persen yoy dari 3,02 persen di Desember 2016. Ia memperkirakan, pada Rapat Dewan Gubernur BI Kamis sore minggu ini, bank sentral akan mempertahankan BI Reverse Repo Rate pada 4,75 persen.