EKBIS.CO, BOGOR -- Selama ini, orang selalu ribut bagaimana agar penangkapan ikan dapat berkelanjutan. Juga bagaimana agar sektor perikanan dapat digunakan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Domu Simbolon, dalam realitas yang ada saat ini sangat ironis. Bahwa potensi sumber daya ikan (SDI) yang katanya sangat melimpah, belum bisa dimanfaatkan, khususnya sebagai peluang bisnis.
"Perairan kita luas tapi kenapa belum bisa bisnis. Tingkat kesejahteraan nelayan juga masih memperihatinkan. Disebabkan sistem bagi hasil nelayan dengan pemilik armada, usaha penangkapan belum efisien (sistem berburu), hanya mencari dan mencari, serta konsumsi bahan bakar tinggi, hasil penangkapan tidak pasti, produktivitas rendah," kata Domu, Kamis (19/1).
Luas wilayah laut Indonesia yang diperkirakan 5,8 juta kilometer persegi atau mencapai dua kali luas wilayah daratan, menurut dia, mengandung SDI melimpah. Menurut Profesor Domu, ada beragam faktor yang menyebabkan sudah banyak perairan terdegradasi.
Selama ini, dia mengatakan nelayan hanya mengandalkan tanda-tanda alam. Seperti beriak air dan atau adanya burung. Daerah penangkapan ikan, selama ini juga menurutnya belum dijamah, masih didiamkan dan atau belum dikelola dengan baik.
Paradigma salah kaprah selama ini juga, menurutnya, yaitu tidak diperhatikannya sejumlah faktor. Seperti ikan layak tangkap, perairan cocok, dan teknologi berikut jumlah alat yang tidak optimum. "Contoh, teknologi penangkapan dan terbaik itu huhate dan perlu dikendalikan jumlahnya. Misalnya optimal 47 unit, contohya di Sorong (Papua)," kata dia.
Dia juga mengingatkan terkait waktu atau periode potensial penangkapan ikan. Seperti SDI di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, yang biasanya melimpah pada Agustus dan september, namun Oktober menghilang dikarenakan migrasi. Seperti ikan madidihang di Mentawai, Kepulauan Riau juga besar pada bulan April dan Juni. Begitu juga ikan lemuru di Selat Bali yang melimpah pada Mei sampai Juli. Selain periode, nelayan juga perlu memerhatikan zona potemsial.
"Penangkapan ikan tongkol di Pelabuhan Ratu, 73 persen illegal size, di Binuangeun, Garut juga 65 persen tidak memerhatikan unsur ikan layak tangkap," jelasnya.
Pada intinya, Domu mengatakan faktor yang mesti menjadi paradigma baru dalam penangkapan ikan, adalah perhatikan kuota jumlah dan ukuran ikan yang boleh ditangkap. Begitu juga inovasi teknologi yang selektif, insentif harga terhadap ikan legal size, serta perhatikan zonasi berikut jumlah armada penangkap yang optimum.