EKBIS.CO, Sejak zaman dahulu, keberadaan lumbung selalu mampu menyelamatkan masyarakat setempat memenuhi kebutuhannya ketika paceklik. Namun, kemajuan zaman membuat keberadaan lumbung pangan perlahan menghilang.
Hal ini membuat warga Desa Pijiharjo, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, berupaya membangkitkan kembali kehadiran lumbung pangan, sejalan dengan upaya pemerintah terkait ketahanan pangan di Tanah Air. Berdiri sejak 27 Februari 2012, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Sumber Pangan telah memiliki sebanyak 265 orang anggota.
Ketua LPM Sumber Pangan Warso menjelaskan, LPM tersebut pada saat panen membeli gabah dari warga dengan harga sesuai pasaran di kisaran Rp 4 ribuan per kilogram (kg) gabah kering. Ketika paceklik, gabah tersebut dipinjamkan kepada anggota untuk memenuhi kebutuhan mereka.
“Mereka mengembalikan saat pascapanen. Tinggal mengembalikan,” ujarnya saat Republika berkunjung beberapa hari lalu.
Namun, ada bunga yang perlu diberikan kepada lumbung sebesar 10 persen. Ia mencontohkan, seorang warga yang meminjam gabah sebanyak 1 kuintal, wajib mengembalikan 110 kg. “Itu sudah disepakati pengurus,” ujarnya.
Para anggota juga dipersilakan untuk menambah simpanan gabahnya di lumbung di luar pengembalian gabah. Melalui pemberdayaan lumbung pangan, petani dapat menghindari peran tengkulak yang selama ini kurang menguntungkan mereka. Ia melanjutkan, jika hasil panen dijual ke tengkulak, para petani tidak memiliki gabah ataupun beras lagi untuk dikonsumsi pada saat paceklik menerjang.
Keberadaan lumbung tidak terlepas dari bantuan pemerintah. Gudang seluas 42 meter persegi dan lantai jemur berukuran 6 x 25 meter dibangun melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pada 2012 dan 2013 LPM menerima dana bantuan sosial dengan total Rp 40 juta dan bantuan-bantuan lainnya termasuk 2 ton gabah pada 2014.
Saat ini di gudang berkapasitas 30 ton tersebut kini terisi 10,2 ton. Sirkulasi gabah pun diakui Warso sangat baik sehingga tidak perlu mengendap lama. Selain memenuhi kebutuhan anggota, gabah tersebut juga dijual ke luar anggota seperti toko dengan harga pasaran dalam bentuk beras. Biasanya stok dikeluarkan pada saat pasca panen. Hal ini dilakukan untuk melakukan perputaran uang di LPM tersebut.
“Tapi stok tidak pernah kosong karena fungsi utamanya untuk memenuhi kebutuhan anggota,” tegas dia. Ia mengakui tidak mengalami kesulitan melakukan penjualan di luar anggota, meski dengan harga pasar. Sebab, kualitas beras yang dihasilkan lumbung tersebut memiliki kualitas baik. Beras dijual ke luar anggota seharga Rp 7.600 per kg sementara Rp 7.500 per kg untuk anggota.
Selain melakukan simpan pinjam gabah, LPM tersebut juga menyediakan saprodi dan usaha penggilingan padi yang bisa dimanfaatkan anggota dengan harga terjangkau. Untuk melakukan penggilingan gabah di lumbung tersebut, anggota cukup membayar Rp 300 per kg.
“Kita sepakati ongkosnya Rp 300 per kg, Rp 100 upah untuk yang menggiling, Rp 100 untuk operasional, dan sisanya masuk kas lumbung,” jelas lelaki berusia 58 tahun itu.
Warso yang telah menjabat sebagai ketua sejak 2012 tersebut mengatakan tidak menerima bayaran apapun, begitu juga dengan para pengurus. Mereka menjalankan lumbung semata-mata untuk melayani masyarakat demi mencapai kesejahteraan. Ia berharap ke depannya akan tercipta ekonomi kerakyatan yang mampu mensejahterakan petani. “Ayo benar-benar membangun dari kita untuk kita,” katanya.