EKBIS.CO, JAKARTA -- Freeport McMoRan Inc, induk perusahaan PT Freeport Indonesia, menilai pemerintah Indonesia telah memutuskan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada 1991 secara sepihak dengan mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C Anderson dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/2), mengaku pihaknya tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam Kontrak Karya 1991 silam.
"Freeport telah dengan itikad baik berupaya untuk fleksibel dan berkomitmen untuk mengubah Kontrak Karya ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada saat menandatangani perjanjian investasi yang disepakati bersama," katanya.
Perjanjian itu menyebutkan bahwa Freeport mendapatkan hak yang sama sebagaimana diatur dalam Kontrak Karya. Hal itu sejalan dengan surat jaminan dari pemetintah kepada PTFI tanggal 7 Oktober 2015.
Perusahaan juga telah mendiskusikan dengan pemerintah untuk memperoleh jangka waktu enam bulan guna merundingkan perjanjian investasi ini. "Ekspor akan diizinkan dan Kontrak Karya tetap berlaku sebelum ditandatanganinya perjanjian investasi tersebut. Namun demikian, peraturan-peraturan pemerintah saat ini mewajibkan Kontrak Karya diakhiri untuk memperoleh izin ekspor, di mana tidak dapat kami terima," jelasnya.
Menurut Richard, perusahaan itu telah beroperasi di Indonesia dengan menggunakan KK yang sudah berjalan selama 50 tahun."Hukum di Indonesia dan hukum internasional menyatakan kontrak tidak bisa diubah sepihak, bahkan dengan peraturan pemerintah. Itu posisi kami," katanya.
Richard menuturkan investasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu tidak bisa dilakukan jika tidak ada kepastian fiskal dan hukum demi kelangsungan operasi. Terlebih investasi Freeport merupakan investasi berskala besar dengan jangka waktu panjang di lokasi terpencil di Papua.
"KK 1991 yang merupakan dasar kestabilan dan perlindungan jangka panjang bagi perusahaan kami dan vital terhadap kepentingan jangka panjang para pekerja dan para pemegang saham kami," ujarnya.
Menurut Richard Anderson, pihaknya akan terus berunding dengan pemerintah Indonesia demi kelangsungan operasi perusahaan. Ia juga mengaku pihaknya berupaya menghindari dampak negatif dari perubahan yang terjadi, terutama bagi karyawan dan keluarganya serta masyarakat Papua di mana perusahaan beroperasi.
"Kami harap segera ada jalan keluar dari masalah ini," imbuhnya.