Jumat 24 Feb 2017 05:31 WIB

Ini Penyebab Meningkatnya Ketimpangan di Indonesia

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Kemiskinan, menjadi penyumbang faktor kategori negara gagal
Foto: Republika/Agung Supri
Kemiskinan, menjadi penyumbang faktor kategori negara gagal

EKBIS.CO, JAKARTA -- Laporan terbaru yang dirilis Oxfam menjelaskan, alasan di balik naiknya tren ketimpangan kesejahteraan di Indonesia. Mengutip buku karya Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, tanpa ada campur tangan pemerintah selama ini maka ekonomi pasar cenderung terkonsentrasi pada sedikit orang saja. Ketimpangan meningkat.

Oxfam mencatat, hingga terjadinya krisis ekonomi 1997, Indonesia memiliki sejarah pertumbuhan ekonomi yang cukup merata. Investasi di bidang kesehatan dan pendidikan disebut dilakukan dengan merata dan cukup ampuh untuk menekan kemiskinan. Juru Bicara Oxfam untuk Laporan Ketimpangan Dini Wulandari menyebutkan, Indonesia terpaksa harus melakukan penyesuaian struktural di tahun 1997 silam untuk memperoleh pinjaman dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Dini menyebutkan, apa yang terjadi berikutnya adalah kelompok kaya mendapatkan manfaat pertumbuhan yang lebih besar. "Sementara kelompok bawah hanya menyaksikan pendapatan orang kaya meningkat. Dan peningkatan pelayanan yang melambat," ujar Dini dalam paparannya, Kamis (23/2).

Meski saat krisis ekonomi di tahun 1997 ada sedikit penyusutan ketimpangan, akibat kelompok kaya terimbas krisis, ketimpangan kembali melebar seiring dengan penyesuaian struktural ekonomi. Dini menyebutkan, banyak kalangan terkaya di Indonesia yang memperoleh kekayaan mereka berkat konsesi eksklusif dari pemerintah dan proses privatisasi seiring dengan fundamentalisme pasar.

Ia melanjutkan, ketika aset publik diprivatisasi, pemilik aset dapat menjual kembali produk atau jasa dengan harga yang lebih mahal ke negara yang awalnya menjual bisnis tersebut. Ia memberikan contoh, setelah privatisasi, harga air di Jakarta meningkat sekitar 0,13 dolar AS per meter kubik menjadi 0,54 dolar AS per meter kubik.

"Liberasiasi keuangan mengakibatkan lebih banyak dana yang tersedia bagi sektor usaha yang naikkan produksi. Mereka yang punya investasi, meraup untung," katanya.

Dini menambahkan, sektor kelapa sawit adalah salah satu contoh kapitalisasi di Indonesia. Catatan Oxfam, sekitar 12,5 miliar dolar AS diinvestasikan untuk perluasan kebun kelapa sawit sepanjang 2000 hingga 2008. Sementara itu, sepuluh perusahaan kelapa sawit terbesar didanai dengan rata-rata 59 persen melalui ekuitas dan 41 persen melalui utang.

"Mereka yang mempunyai investasi akan mendulang untung. Dan sepuluh orang terkaya di Indonesia memiliki usaha kelapa sawit dalam portofolionya," ujar dia.

Intinya, melesatnya kekayaan kelompok teratas ini jauh meninggalkan rata-rata penerimaan dari masyarakat ekonomi menengah dan ke bawah. Akibatnya, ruang ketimpangan melebar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement