Sabtu 04 Mar 2017 02:07 WIB

Karyawan Freeport Ingin Bekerja dengan Nyaman

Rep: Frederikus Bata/ Red: Budi Raharjo
Kota Tembagapura yang indah dan dingin tempat para pekerja tambang PT Freeport Indonesia tinggal. Segala fasilitas tersedia di kota kecil ini.
Foto: Maspril Aries/Republika
Kota Tembagapura yang indah dan dingin tempat para pekerja tambang PT Freeport Indonesia tinggal. Segala fasilitas tersedia di kota kecil ini.

EKBIS.CO, "Kami Ingin duduk bersama dengan Freeport langsung." Itulah seruan pekerja PT Freeport Indonesia (PTFI) merespons polemik antara perusahaan tempat mereka bernaung dengan pemerintah.

Pernyataan ini disampaikan sekretaris hubungan industrial serikat pekerja PTFI, Tri Puspital mewakili rekan-rekannya, saat dihubungi Republika. Dalam pantauannya, PTFI sudah memutuskan hubungan kerja dengan ratusan karyawan kontraktor dan privatisasi. Salah satunya adalah pekerja di PT Pangansari Utama (PSU). Perusahaan ini melayani kebutuhan makanan untuk semua orang di lingkungan anak usaha PT Freeport McMoran itu.

Perihal situasi di tambang Grasberg-Tembagapura-Mimika, seturut penjelasan Tri, terlihat operator sebatas membersihkan peralatan. Pabrik berhenti beroperasi lantaran tak ada aktivitas mengekspor konsentrat (mineral olahan yang belum mencapai tahap pemurnian). Meski pengangkutan material ke tempat penampungan yang kian menumpuk masih ada.

Presiden Direktur Freeport McMoran, Richard Adkerson mengungkapkan perumahan dan PHK Karyawan merupakan kebijakan sulit yang harus mereka ambil. Pasalnya operasional terganggu lantaran belum ada mufakat dengan pemerintah terkait izin ekspor.

"Harus mengurangi biaya operasi, dan kita normalnya menghabiskan 2 miliar dolar AS setiap tahun dengan entitas bisnis baik di Papua maupun di seluruh Indonesia," kata Adkerson dalam konferensi pers di hotel Fairmount, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pemerintah sebenarnya sudah memberikan rekomendasi ekspor kepada PTFI pada Jumat (17/2). Namun rekomendasi itu tak berdampak, karena perusahaan asal Amerika Serikat itu belum mengubah status dari kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Butir tersebut menjadi syarat mutlak bagi perusahaan tambang pemegang KK untuk melaksanakan ekspor. Poin demikian tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang mineral dan batubara (Minerba).

PTFI menilai PP Mineral terbaru ini tidak memberikan jaminan fiskal bagi investasi jangka panjang mereka. Pemerintah punya cara pandang berbeda. Staf khusus Menteri ESDM, Hadi M Djuraid menerangkan sudah ada pembicaraan antara pihak pemerintah dengan perwakilan PTFI di kantor Kementerian Keuangan. Pemerintah terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara. Sementara pihak Freeport diwakili oleh CEO Richard Adkerson.

Pertemuan tersebut membahas poin perubahan dari kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pemerintah, kata Hadi, kemudian mengakomodasi poin-poin tersebut dalam IUPK yang dikeluarkan. "Ternyata dia menyatakan penolakan terhadap IUPK tersebut, dan dia kemudian tidak lagi menyinggung soal kepastian investasi atau fiskal, tetapi dia menuntut kembali ke KK tahun 1991, utuh," ujar Hadi.

Polemik ini dipastikan berkepanjangan hingga beberapa bulan ke depan. Per 18 Februari, Freeport memberi garansi 120 hari sebelum digugat ke ranah internasional. Adkerson menegaskan jalur arbitrase bakal diambil pihaknya jika kebuntuan belum terpecahkan.

Apapun itu, karyawan kemudian jadi korban. Sebelumnya ratusan pekerja  PTFI, baik itu karyawan organik, privatisasi, maupun kontraktor berunjuk rasa di depan kantor bupati dan DPRD Mimika. Mereka hanya ingin bekerja dengan nyaman.

"Bahwa siapa yang salah, kami tidak tahu, tapi situasi ini membuat kesenjangan sosial dari segi kemanusiaannya kurang manusiawai. Orang tiba-tiba dihentikan, bagaimana dia harus makan besok, bagaimana anak-anak harus pindah sekolah," tutur Uskup Mimika,  John Philip Saklil.

Pada Senin (27/2), Jhon bersama sederet perwakilan suku hak ulayat tanah tempat beroperasinya PTFI mendatangi kantor Kementerian ESDM. Suku-suku tersebut antara lain Amungme, Moni, Kamoro, Dani, Duga, Damal, dan Mee. Mereka mengapresisi ketegasan pemerintah, namun paling penting kehidupan karyawan terdampak harus diperhatikan.

Ketua lembaga adat suku Kamoro Robert Waropea mengutarakan kekhawatiran pihaknya apabila PTFI berhenti beroperasi. Ia mengetahui saat ini kedua kubu dalam tahapan negosiasi. "Saat ini masih aman,  tetapi yang kita maksudkan ketika Freeport ditutup, jika tidak ada titik temu.  Soal rehabilitasi lingkungan dan hak-hak yang harus dibayar ke masyarakat adat," ujar Robert.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement