EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita menilai pembukaan pasar ekspor menjadi solusi paling jitu mengatasi penurunan harga unggas. Dengan begitu akan terjadi keseimbangan pasar, yakni pasar dalam negeri diisi oleh peternakan unggas rakyat sementara industri besar fokus pada ekspor.
"Jika semua sudah berjalan sebagaimana mestinya, cara ini tentunya akan efektif untuk mengurangi gejolak harga yang tidak wajar saat ini," ujarnya secara tertulis akhir pekan ini.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian mengerahkan berbagai upaya untuk mengatasi jatuhnya harga ayam hidup (broiler dan jantan layer) serta telur di bawah harga pokok produksi. Perintah pengurangan DOC FS Broiler, DOC FS Jantan Layer dan FS Ayam Layer pun telah tertuang pada peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 3035/Kpts/PK010/F/03/2017.
Selain itu, pihaknya juga mendorong pelaku usaha di bidang perunggasan untuk terus aktif mengkampanyekan gemar makan telur dan ayam. Cara ini selain meningkatkan konsumsi unggas juga mengedukasi masyarakat akan pentingnya sumber protein hewani bagi tubuh.
Ketut menjelaskan, produksi ayam ras nasional di Indonesia saat ini mengalami surplus, tetapi konsumsi masyarakat terhadap daging ayam masih rendah, yaitu sekitar 10 kg per kapita per tahun, sedangkan konsumsi telur sekitar 6,309 kg per kap per tahun. "Untuk itu, kita minta juga kepada pelaku usaha di industri perunggasan atau integrator untuk dapat terus peduli terhadap peningkatan gizi masyarakat," ujar dia.
Berdasarkan data Statistik Peternakan tahun 2016, populasi ayam ras pedaging (broiler) mencapai 1,59 miliar ekor, ayam ras petelur (layer) mencapai 162 juta ekor dan ayam bukan ras (buras) mencapai 299 juta ekor atau mengalami peningkatan sekitar 4,2 persen dari populasi pada 2015. Produksi daging unggas menyumbang 83 persen dari penyediaan daging nasional, sedangkan produksi daging ayam ras menyumbang 66 persen dari penyediaan daging nasional.
Menurutnya, industri ayam ras merupakan industri yang sangat rentan karena memiliki ketergantungan yang tinggi kepada negara lain. Sebab, bibit masih impor, begitu juga dengan bahan baku pakan yanh sebagian impor. Hal ini memungkinkan suatu saat kondisi tersebut dapat menjadi bumerang bagi Indonesia dalam bidang ketahanan pangan.
Pemerintah pun bersama-sama dengan Tim Analisis dan Tim Asistensi perunggasan dengan mempertimbangkan kondisi pasar saat ini akan mengatur kembali pasokan bibit agar sesuai dengan permintaan. "Sehingga tidak terjadi over supply," ujarnya.