EKBIS.CO, JAKARTA -- Pejabat Promosi Investasi IIPC Tokyo Saribua Siahaan menyampaikan, saat ini IIPC Tokyo juga sedang dalam upaya untuk memfasilitasi dua perusahaan logistik lainnya dari Jepang untuk mendapatkan izin pusat logistik berikat. Salah satunya adalah perusahaan yang bergerak di bidang logistik yakni PT Nittsu Lemo Indonesia Logistik, anak perusahaan dari Nippon Express.
Anak perusahaan dari Nippon Express tersebut mendapatkan izin pusat logistik berikat hasil kerja bareng antara oleh Direktorat Bea Cukai, Kementerian Keuangan serta IIPC Tokyo dan Atase Keuangan KBRI Tokyo. “Anak perusahaan Nippon express aktif difasilitasi oleh Bea Cukai di Indonesia serta IIPC Tokyo dan Atase Keuangan KBRI Tokyo di Jepang sejak akhir tahun lalu hingga April 2017 melalui forum business meeting dengan Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi,” ujar Saribua dalam siaran pes yang diterima Republika, Kamis (18/5).
Menurut Saribua, Pusat Logistik Berikat merupakan salah satu terobosan kebijakan Pemerintah bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi II yang bertujuan menekan biaya logistik dan mendorong efisiensi kinerja perdagangan nasional. Dengan banyaknya perusahaan Jepang di bidang logistik yang masuk ke Indonesia, diharapkan dapat mendorong efisiensi serta meningkatkan kemampuan logistik untuk melayani investor asing maupun perusahaan nasional.
Sementara Kepala BKPM Thomas Lembong merespons positif diperolehnya berbagai izin pusat logistik berikat oleh investor Jepang tersebut. "Pusat Logistik Berikat itu selain mempercepat urusan investor dalam mengatur keluar masuk barangnya juga akan memberikan bukti terhadap berbagai terobosan kebijakan oleh pemerintah,” ujar Tom.
Jepang merupakan salah satu kontributor utama dari capaian realisasi investasi Indonesia. Dari data BKPM, pada kuartal I 2017, Jepang menduduki peringkat kedua dengan nilai investasi mencapai 1,4 miliar dolar AS atau setara dengan 19,2 persen dari total investasi yang masuk ke Indonesia.
Posisi Jepang di bawah Singapura yang investasinya mencapai 2,1 miliar dolar AS (28,2 persen), diatas Cina sebesar 600 juta miliar dolar AS (8,2 persen), Amerika Serikat 587 juta dolar AS (8,2 persen), dan Korea Selatan 423 juta dolar AS (5,8 persen).