EKBIS.CO, NEW YORK -- Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk mengatasi praktik penangkapan ikan ilegal atau illegal fishing berhasil mendongkrak stok ikan nasional. Dalam dua tahun belakangan, stok ikan Indonesia mengalami peningkatan.
Berdasarkan Data Komisi Pengkajian Ikan Nasional, pada 2014 stok ikan Indonesia hanya 6,5 juta ton. Namun, pada 2016 sudah mencapai 12 juta ton. Angka konsumsi ikan masyarakat juga meningkat dari 36 kg per kapita pada tahun 2014 menjadi 43 kg per kapita di tahun 2016.
"Indonesia juga sudah membuktikan dengan stok tuna yang fantastis, di mana 60 persen yellow fin tuna dunia berasal dari Indonesia,” kata Susi ketika berbicara di RARE Side Event’s The Forgotten Fisheries dalam kunjungan kerjanya ke New York baru-baru ini melalui siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (11/6).
Susi berpendapat pembatasan kuota guna menjaga keberlanjutan sumber daya ikan dan usaha memerangi Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) ini juga menjadi perhatian anggota PBB.
Susi mengeluarkan sejumlah kebijakan sejak menjabat sebagai menteri. Dia mengeluarkan kebijakan pemberantasan illegal fishing, moratorium kapal perikanan asing, pelarangan transshipment, dan pelarangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan.
Menurut Susi, kebijakan-kebijakan ini memang tidak mudah, terutama bagi negara-negara kecil dan berkembang. "Dalam upaya menjaga keberlanjutan sumberdaya ini, kita juga harus berhadapan dengan kepentingan bisnis multinasional dan transnasional yang besar dan terorganisir,” kata Susi mengungkapkan.
Selain itu, Indonesia juga mulai menata pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan pembatasan kuota penangkapan ikan. KKP membatasi ukuran kapal yang bisa melakukan penangkapan, maksimal berkapasitas 150 GT, dan kapal pengangkut maksimal 200 GT.
"Dengan ini, pada dasarnya kami ingin menghidupkan kembali konstitusi,” ujar Susi.
Susi pun menceritakan landasan dia melakukan berbagai kebijakan tersebut. Berdasarkan data statistik tahun 2003-2013, stok ikan di lautan Indonesia berkurang hingga 30 persen.
Dia pun mengenang ketika masih menjadi pengusaha perikanan, Susi harus membeli 30 sampai 40 ton ikan dari pasar ikan setiap harinya untuk diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat.
Hingga suatu ketika, dia hanya bisa mendapatkan 100 kg ikan, dari jumlah 30 ton yang seharusnya dipenuhi. Dia tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi, hingga menjabat sebagai menteri.
"Ternyata penyebabnya adalah praktik illegal fishing dan penangkapan yang tak memperhatikan keberlanjutan,” kata Susi.
Susi menyampaikan pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan bagi setiap negara. Ia mengakatan pengelolaan perikanan Indonesia yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan dan maraknya praktik illegal fishing sudah menjadi masa lalu. Pengelolaan itu membuat Indonesia kehilangan banyak stok ikan.
Acara yang digelar pada Senin (5/6) tersebut turut dihadiri Presiden Republik Palau Tommy E Remengesau; Menteri Kelautan, Perairan Pedalaman, dan Perikanan Mozambik Agostinho Mondlane; Menteri Pertanian, Pembangunan Desa dan Maritim & Manajemen Bencana Nasional Republik Fiji Inia Seruiratu; Direktur FAO Divisi Kebijakan dan Sumberdaya Perikanan dan Pertanian Manuel Barange; Senior Asosiasi Tim Lingkungan Bloomberg Philanthropies, Mellisa Wright; dan berbagai perwakilan negara dan LSM lainnya.