Senin 10 Jul 2017 16:20 WIB

Industri Ritel Tertekan Kebiasaan Belanja Online

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Warga memilih barang menggunakan web aplikasi belanja online di Jakarta, Rabu (25/11).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga memilih barang menggunakan web aplikasi belanja online di Jakarta, Rabu (25/11).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Perlambatan pertumbuhan ritel di Indonesia ternyata tak hanya disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian menilai, perkembangan digitalisasi ekonomi juga menyumbangkan perlambatan ritel dalam dua tahun belakangan.

Dzulfian menyebutkan, perubahan perilaku konsumen yang mulai beralih ke belanja daring ketimbang belanja ke toko ritel atau pasar perlu dicermati. Hal ini sejalan dengan pengakuan pelaku usaha ritel bahwa terjadi perlemahan yang cukup signifikan dalam penjualan mereka khususnya selama Lebaran tahun ini, dibanding periode Lebaran tahun lalu.

Menurutnya, perubahan perilaku masyarakat dalam berbelanja ini merupakan sinyal kuat yang harus ditangkap pemerintah terhadap perkembangan digitalisasi ekonomi. "Yang harus dilakukan pemerintah adalah menyediakan segenap peraturan untuk mengatur kompetisi dan berjalannya berbagai bisnis online yang sedang menjamur ini," ujar Dzulfian, di Jakarta, Senin (10/7).

Meski begitu, ia mengaku bahwa digitalisasi merupakan keniscayaan yang tak bisa dibendung. Artinya, kata Dzulfian, tinggal bagaimana pemerintah bisa mengakomodasi perkembangan bisnis daring tanpa mematikan pasar ritel yang sudah ada.

"Kebijakan perlindungan hak konsumen dan produsen harus ada. Termasuk kemudahan akses keuangan daring, dan pencegahan penipuan dan pembajakan daring," ujar Dzulfian.

Meski begitu, Dzulfian menilai bahwa penurunan daya beli memang menjadi faktor utama perlemahan pertumbuhan ritel tahun ini. Hal ini berasal baik dari faktor permintaan atau pasokan. Dari sisi permintaan, ujarnya, penyebab utama penurunan daya beli adalah adanya tekanan biaya hidup yang dialami masyarakat. Kondisi ini berhubungan dengan kebijakan penyesuaian tarif listrik golongan 900 Volt Ampere (VA) dan rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

"Ini membuat masyarakat menahan diri alias eman-eman mengonsumsi uangnya karena mereka berekspektasi akan terjadi kenaikan biaya hidup yang cukup signifikan dalam dua pos pengeluaran ini," ujar dia.

Baca juga: Pengusaha Ritel: Bonus Demografi Sumbang Lesunya Daya Beli

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement