Jumat 28 Jul 2017 18:15 WIB

Pupuk Subsidi Mendorong Percepatan Swasembada

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petani menyebar pupuk di sawahnya.
Foto: Antara
Petani menyebar pupuk di sawahnya.

EKBIS.CO,  Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Winarno Tohir menyatakan pupuk adalah faktor sangat penting dalam menunjang swasembada beras keberhasilan usaha tani padi. Peran pupuk bisa mencapai 20persen dari total nilai keberhasilan usaha tani. 

Oleh karena itu menurutnya penyediaan pupuk bersubsidi oleh PT Pupuk Indonesia memberi andil besar dalam mensukseskan program swasembada pangan nasional. 

“Proporsi pupuk dalam struktur biaya produksi padi memang cukup besar, yaitu sekitar 10,40 persen (BPS, 2017) tetapi perannya dalam keberhasilan produksi mencapai 20 persen,” jelas Winarno berdasarkan rilis yang diterima republika.co.id.

Winarno menjelaskan, pupuk yang dibutuhkan petani adalah yang dapat mensuplai kecukupan unsur hara tanah untuk pertanaman padi seperti Nitrogen, Kalium dan Phospat. Prakteknya, yang beredar di pasaran pupuk Urea, NPK, SP36, meskipun tersedia juga pupuk jenis majemuk.

Saat ini, produksi pupuk nasional sekitar 13,5 juta ton, mayoritas diperuntukkan bagi kebutuhan lokal terutama untuk sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan dan perikanan budidaya dengan skim subsidi input. “Bila kebutuhan lokal sudah terpenuhi, pemerintah setelah mencukupi kebutuhan lokal, sisanya dapat diekspor,” tambahnya.

Tahun 2016, Kementan mengalokasikan anggaran subsidi pupuk Rp 30,06 triliun atau setara 9,55  juta ton pupuk berbagai jenis. Jumlah pupuk subsidi yang terserap hanya 9,205 juta ton atau sekitar 96,39 persen tersisa 0,345 juta ton. 

Meski ada sejumlah kekurangan, Winarno menegaskan kebijakan subsidi pupuk adalah kebijakan yang baik sehingga layak terus dipertahankan. Pemerintah didukung oleh DPR dan para stakeholder lainnya menyepakati untuk mengalokasikan anggaran yang sama dengan volume pupuk yang sama tahun ini yaitu Rp 31,153 triliun atau setara 9,55 juta ton pupuk berbagai jenis. 

Problematika ketersediaan pupuk ada beberapa macam, antara lain tidak tersedia atau kurang saat dibutuhkan, ada tetapi harganya mahal (harga industri), ketersediaannya tidak tepat waktu, dan ada tetapi prosedurnya rumit atau minta cash sehingga banyak petani tidak mampu membeli.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Pending Dadih Permana menjelaskan, untuk mengatasi problem di atas, pabrikan pupuk bersepakat menerapkan sistem manajemen distribusi 6 tepat, yaitu; Tepat Jenis, Tepat Jumlah, Tepat Mutu (kualitas dan dosis), Tepat Tempat (lokasi), Tepat Waktu dan Tepat Harga. 

“Dengan menerapkan sistem manajemen ini, problema distribusi pupuk perlahan-lahan teratasi. Moral hazard dan penyelewengan pupuk bersubsidi terkait disparitas harga dapat diatasi dengan pengawasan melekat yang intensif,” ujar Pending Dadih.

Untuk mengurangi pupuk subsidi tidak terserap, pemerintah akan memperbaiki data CPCL menggunakan Sistem Informasi Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) yaitu sistem informasi berbasis IT, untuk memudahkan pengumpulan data dan komunikasi data serta update data petani dan lokasi.

“Selain itu juga memperbaiki sistem rayonisasi, meningkatkan pengawasan penyelewengan pupuk dengan mengintensifkan kerjasama dengan pihak ketiga, dan menurunkan disparitas harga antara pupuk subsidi dengan pupuk industri sehingga mengurangi peluang penyelewengan,” urainya.

Berdasarkan Permentan Nomor 69 Tahun 2016 juncto Permentan Nomor 4 Tahun 2014, pupuk bersubsidi tahun anggaran 2017 dialokasikan sebanyak 8,55 juta ton plus 1 juta ton sebagai cadangan. Perinciannya, pupuk urea 4,1 juta ton, pupuk SP-36 850.000 ton, pupuk ZA 1,050 juta ton, pupuk NPK 2,550 juta ton, dan pupuk organik 1 juta ton.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement