EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat menilai, kejadian Srilanka yang memberikan pelabuhannya ke Cina karena tidak bisa membayar utang menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Pasalnya, Indonesia pun menerima pinjaman dari Cina.
"Jerat utang atau debt trap berkedok infrastruktur memang patut diwaspadai. Salah satu indikator negara yang jatuh pada jerat utang adalah pembangunan infrastruktur tidak berkorelasi langsung dengan pertumbuhan ekonomi," ujar Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira kepada Republika.co.id, Senin, (31/7).
Menurutnya, indikator tersebut terlihat pula pada kasus di Indonesia. Ia menjelaskan, pada 2014 porsi belanja infrastruktur terhadap total APBN baru 8,7 persen, tapi di 2017 sudah lebih dari 18,6 persen.
"Itu peningkatan yang perlu diapresiasi. Tapi disisi yang lain, naiknya anggaran infrastruktur apalagi yang didanai oleh utang sayangnya tidak diikuti oleh perbaikan penyerapan belanja infrastruktur," jelasnya.
Ia mengatakan, belanja modal selama dua tahun terakhir hanya terserap 78 sampai 80 persen dari alokasi anggaran. Kemudian permasalahan berikutnya, kata Bhima, yakni realisasi infrastruktur secara keseluruhan masih lambat.
Data Bank Indonesia per Februari 2017 mengungkap bahwa proyek infrastruktur yang sudah berjalan hanya 2 persen. Lalu sisanya sebagian masih berada ditahap perencanaan dan lelang dengan total 46 persen.
Dengan lambatnya proses pembangunan infrastruktur pertumbuhan ekonomi pun, kata Bhima, sulit mencapai target diatas 5,2 persen.
Ia melanjutkan, indikator negara terjerat utang berikutnya, yaitu kemampuan bayar turun dikala belanja infrastrukturnya dinaikkan.
"Seharusnya proses pembangunan infrastruktur membawa multiplier effect yang akhirnya meningkatkan penerimaan perpajakan. Tapi faktanya pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan Indonesia terus mengalami penurunan terlebih setelah tax amnesty, " jelas Bhima.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement