EKBIS.CO, JAKARTA -- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan indikasi adanya mafia atau kartel dalam impor garam ditelusuri dengan serius oleh pemerintah karena dapat menggerus tingkat kesejahteraan petambak garam nasional.
"Hal ini penting dilakukan sesegera mungkin mengingat impor garam memukul harga garam lokal dan membunuh usaha para petambak garam di Indonesia yang saat ini berjumlah lebih dari 21 ribu orang," kata Sekjen Kiara, Susan Herawati, di Jakarta, Senin (7/8).
Selain itu, ujar dia, impor garam sebanyak 75 ribu ton dari Australia yang dilakukan baru-baru ini dinilai mengangkangi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Melalui UU Nomor 7/2016, kata dia, Pemerintah seharusnya memiliki kemauan politik untuk menghentikan impor garam karena praktik ini berlangsung sejak lama. Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat, setidaknya sejak tahun 1990 impor garam telah dilakukan sebanyak 349.042 ton lebih dengan total nilai 16,97 juta dolar AS. Ia mengecam impor garam yang dilakukan terus dilakukan sampai hari ini dengan berlindung di balik alasan kelangkaan stok garam sebagai dampak dari kerusakan iklim dan anomali cuaca.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim secara tegas menyatakan pembukaan keran impor yang terjadi sejauh ini harus dihentikan. Apalagi pemerintah kembali menargetkan produksi garam nasional sebesar 3,2 juta ton pada 2017 dan peningkatan kesejahteraan petambak garam dengan dukungan APBN sebesar Rp 9,2 triliun. Hal ini tertuang di dalam Nota Keuangan APBN 2017.
Buruknya kinerja di bidang pergaraman, menurut dia, berpangkal dari kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta PT Garam, yang tidak berhasil mendorong produksi garam serta meningkatkan kesejahteraan petambak garam. Dia mengingatkan produksi garam pada 2016 hanya sebesar 118.056 ton atau setara 3,7 persen dari 3,2 juta ton yang menjadi target pemerintah pada 2016.