EKBIS.CO, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pergaraman Nasional pada Oktober lalu. Perpres tersebut sekaligus menginstruksikan penghentian impor garam paling lambat tahun 2024 untuk kebutuhan selain industri kimia dan chlor alkali.
Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, menuturkan hingga tahun ini pemerintah masih akan mengimpor garam untuk industri makanan dan minuman. Adapun kebutuhan rata-rata garam khusus untuk industri mamin masih sekitar 600 ribu-700 ribu ton.
Putu memahami, Indonesia memiliki garis pantai dan laut yang luas yang bisa digunakan untuk memproduksi garam. "Tapi, garam industri kebanyakan dari daratan. Garam yang bagus itu dari India, sebagian Australia, dan Amerika Latin karena garam karena tergantung kepada (lama) hari kering," kata Putu dalam Webinar CIPS, Rabu (15/2/2023).
Adapun daerah paling potensial sebagai sentra pergaraman hanya terdapat di NTT dengan musim panas antara 7 bulan-8 bulan. Meski demikian, ia mengakui garam-garam lokal yang dihasilkan petambak masih harus diproses untuk mencapai spesifikasi yang diperlukan industri.
Rata-rata kebutuhan garam industri mamin harus memiliki kadar NaCl minimal 97 persen, bahkan untuk industri kimia hingga 99 persen.
Ketua Bagian Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gappmi) Rachmat Hidayat, mengatakan industri akan mendukung upaya pemerintah agar sedapat mungkin garam lokal digunakan. "Cuma memang garam lokal masih sulit memenuhi dari sisi kuantitas dan kualitas," ujarnya.
Ia menjabarkan, mayoritas garam lokal saat ini dihasilkan dari pesisir laut Jawa, terutama di Madura dan kawasan Pantura. Padahal, diketahui kawasan laut Jawa tidak begitu bersih karena dekat dengan kawasan industri.
Harapan pengembangan garam terdapat di NTT karena masih cukup bersih dan cuaca panas yang cukup. Namun, tantangan masih dihadapi karena persoalan lahan.
Rachmat menuturkan, pelaku usaha yang ingin berinvestasi di sektor pergaraman masih dihadapi dengan konflik tanah dengan masyarakat setempat. Kendala itu lantas dinilai cukup berat bagi industri untuk mau berinvestasi.
"Intinya, harus ada lahan yang murah karena kalau lahan harus dibeli itu tidak akan mampu. Lalu ada masalah tanah ulayat, masyarakat ada,t yang itu berat buat industri untuk berani investasi," kata dia.
Mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), total kebutuhan garam nasional sebesar 4 juta ton. Sebanyak 3,2 juta ton dibutuhkan oleh seluruh sektor industri sedangkan 800 ribu ton untuk konsumsi rumah tangga langsung.
Adapun, proyeksi produksi garam tahun 2022 (per September 2022) hanya 559 ribu ton. Produksi garam diperkirakan terus mengalami penurunan dari bulan-bulan sebelumnya karena musim La Nina yang menjadi salah satu penghambat. Diketahui, beberapa tahun terakhir sejak (2020-2022) iklim La Nina sedang berlangsung.
Berdasarkan catatan KKP, kondisi itu pernah terjadi pada periode 1973-1975 dan 1998-2000 yang akhirnya turut mempengaruhi produksi garam ketika itu.