EKBIS.CO, YOGYAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti masalah pengelolaan zakat di banyak negara Islam termasuk Indonesia yang menyebabkan potensi zakat yang dapat dikumpulkan menjadi kurang maksimal.
"Koleksi dan distribusi zakat, misalnya, yang sebagian besar masih disalurkan secara informal melalui keluarga, teman atau badan amal informal," kata Sri Mulyani dalam Seminar Internasional Keuangan Syariah ke-2 (2nd Annual Islamic Finance Conference/AIFC) di Yogyakarta, Rabu (23/8).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu memandang zakat sebagai salah satu sumber pendanaan inovatif dari dana sosial keuangan syariah memiliki potensi dari segi jumlah. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mencatat potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 217 triliun per tahun atau lebih dari 10 persen anggaran pemerintah.
Namun, hanya kurang dari 2 persen potensi zakat tersebut terkumpul secara resmi. Baznas sendiri hanya mengumpulkan sekitar setengah dari jumlah tersebut.
Selain itu, Menkeu juga memandang masyarakat kebanyakan hanya mengerti zakat sebagai kewajiban tahunan yang dibayar pada akhir Ramadhan (zakat fitrah). Masih ada jenis zakat yang jarang dipenuhi, yaitu zakat mal atau zakat harta.
"Hal ini terjadi mungkin karena pemahaman tradisional bahwa objek zakat mal hanya emas, perak, hasil pertanian, ternak dan hasil tambang. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah karena kebanyakan harta benda pada saat itu berada dalam bentuk itu," ucap Sri Mulyani.
Di era sekarang ini harta atau kekayaan bisa dalam bentuk yang lebih beragam seperti saham, sukuk, upah atau gaji, yang jika mengikuti definisi kekayaan klasik mungkin bukan merupakan objek zakat. Menkeu mengatakan untuk memahami objek zakat harta maka harus dikembalikan ke ide utama mengapa zakat dibebankan. Zakat harta dibebankan pada aset yang produktif atau bertumbuh, sebagai kelebihan dari kebutuhan dasar.
"Dengan pemahaman tersebut, objek zakat harta bisa jauh lebih luas dan potensi koleksi zakat juga meningkat," kata Sri Mulyani.