EKBIS.CO, JAKARTA -- Petambak garam di Cirebon terpaksa gigit jari dengan terjun bebasnya harga garam yang mereka pasarkan. Menanggapi hal it, pengamat ekonomi, Enny Sri Hartati menegaskan, pemerintah harus bertanggungjawab atas hal itu. Karena bagi Enny, yang membuat garam petambak tidak laku adalah kebijakan pemerintah yang tidak tepat.
"Ya berarti pemerintah melalui bulog, atau organisasi kelembagaan pemerintah lainnya, yang harus menyerap garam dari petambak ini. Tetapi tidak hanya berhenti di situ, kalau pemerintah hanya menyerap tidak ada processing, berarti itu akan menjadi kerugian negara," papar Enny saat dihubungi Republika.co.id via telepon, Kamis (24/8).
Jika pemerintah hanya melakukan penyerapan garam, seperti halnya pemerintah memberikan bansos, padahal bansos hanya untuk kecelakaan atau musibah. Enny menilai hal seperti ini akan menjadikan kerugian negara. Karena garam petambak yang tidak laku bukan akibat dari kecelakaan atau musibah, tetapi karena salah kebijakan. "Ini kan karena salah perencanaan, salah kebijakan, sehingga ada kerugian di level petambak," ujar dia.
Petambak garam Cirebon, mengeluhkan harga garam yang turun drastis akibat impor garam. Harga semula Rp 2.750 per kilogram, kemudian turun menjadi Rp 700 dan sekarang Rp 650 per kilogram, namun garam tak kunjung laku. Petambak garam dalam negeri terancam kerugian besar-besaran akibat keputusan impor pemerintah ini.
Walaupun bukan karena musibah, pemerintah tidak mungkin mengorbankan para petambak garam itu. Sementara di sisi lain garam impor sudah terlanjur masuk. Enny menjelaskan cara jangka pendek yang dapat dilakukan pemerintah, adalah memasukkan garam impor ke gudang untuk keperluan industri, karena memang garam impor diperuntukkan industri saja.
"Lalu sekarang yang untuk pasokan masyarakat, harus tetap dengan garam berasal dari petambak rakyat. Bahwa misalnya ini masih perlu processing, dan jika memang dibutuhkan garam impor untuk konsumen, ya ambil saja sebagian. Tapi harus valid datanya, konsekuensinya pemerintah harus kerja keras di sini untuk mendata berapa kebutuhan impornya," jelas dia.
Pemerintah punya tanggung jawab untuk menyerap semua garam dari petambak ini dengan harga yang sesuai keekonomian. Dia mengatakan, jangan sampau fluktuasinya dari Rp 2.000-an, lalu sekarang bisa dibawah Rp 1.000. "Ini akan tidak masuk akal. Jadi pemerintah harus serap garam dengan standar harga normal, walau dalam kondisi yang tidak normal," katanya.
Ke depannya, Enny memberikan dua masukan untuk pemerintah. Pertama, pemerintah harus siapkan gudang yang bisa menampung garam agar tidak rusak dan mampu menampung dalam jumlah besar. Kedua, pemerintah harus perbaiki proses pengolahan dengan teknologi lebih canggih.
"Jadi kalau petani panen raya, ini ada satu penampungan yang sifatnya tidak mudah rusak dan bisa menampung garam dari petambak. Sehingga bisa menstabilkan harga di level tambak. Kemudian pemerintah harus investasi di teknologi dan sebagainya. Sehingga Perusahaan Negara (PN) garam ini bisa produksi garam insdustri. Selama ini kan PN teknologinya sangat terbatas," jelas Enny.
Dengan memperhatikan dua masukan itu, pemerintah bukan hanya bisa mengolah garam untuk konsumsi, tapi daya serap dari jndustri pengolahannya tidak terbatas. Dengan begitu petambak tidak lagi over suply dan bisa memperhatikan kualitas garam mereka, tentu dengan harga yang sesuai level kualitas.