EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berharap realisasi pengelolaan zakat dengan pajak. Baznas menginginkan zakat menjadi pengurang pajak langsung, dibandingkan sebagai pengurang pendapatan kena pajak yang berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2017.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan, zakat yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat dibayarkan melalui badan/lembaga penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah.
"Sekarang kan zakat pengurang pendapatan kena pajak atau tax expense. Ke depan inginnya tax credit atau pengurang pajak langsung, seperti di Malaysia," ujar Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah atau Center for Islamic Business and Economic Studies (CI-BEST), Irfan Syauqi Beik kepada Republika, Kamis (24/8).
Namun untuk melaksanakan kebijakan tersebut ia menilai perlu adanya payung hukum ataupun instruksi Presiden (Inpres) sebagai payung hukum sementara.
Irfan menjelaskan, wacana ini sudah pernah dibahas beberapa tahun lalu saat mengusulkan UU Zakat No. 23 Tahun 2011. Namun usul tersebut ditolak oleh Kementerian Keuangan karena harus terlebih dahulu mengubah UU Perpajakan.
Untuk sementara, ia menyarankan menggunakan Inpres untuk mewajibkan pembayaran zakat melalui pajak sebesar 2,5 persen bagi para PNS Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
"Sebelum UU, minimal Inpresnya diwajibkan dulu, misalnya untuk PNS BUMN dan BUMD yang menurut hitung-hitungan kita dalam satu tahun bisa keluar Rp 20 triliun. Itu baru perorangan, belum zakat perusahaan. Kalau BUMN sebagai perusahaan bayar zakat tentunya angkanya akan jauh lebih besar lagi," Tutur Irfan.
Irfan menjelaskan, apabila pajak dijadikan pengurangan pajak secara langsung, maka bukti pembayaran pajak dapat dilampirkan dengan bukti setor pajak saat pembayaran pajak penghasilan. Dengan koordinasi yang baik dengan Baznas, tentunya penghimpunan dana zakat akan sangat besar.
Sementara itu untuk penghimpunan dana dan pengelolaannya, ada dua hal yang menurutnya harus diperhatikan. Pertama, apabila disamakan dengan pajak berarti wajib bukan dari sisi agama tapi dari sisi negara. Kalau ini bisa dilakukan ia menilai hal ini akan bagus sekali untuk mencapai potensi zakat yang besar Di Indonesia.
Kedua, dari sisi penyaluran. Pajak bisa digunakan untuk membiayai APBN. Namun berbeda Dengan zakat yang hanya bisa disalurkan kepada delapan golongan penerima zakat.
"Ini tidak boleh secara sembarangan. Jadi tidak bisa persis sama. Tetapi dari sisi penghimpunan kalau zakat jadi instrumen wajib seperti pajak maka itu yang kita harapkan," kata Irfan.