EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan meminta perbankan agar mampu memperbaiki rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL), tanpa harus meminta kembali relaksasi restrukturisasi kredit dari otoritas, karena keringanan tersebut sudah diberikan selama dua tahun.
Apalagi, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, saat ini para debitur atau peminjam kredit ke bank cenderung sudah memiliki kemampuan bayar yang meningkat. "Sudah dikasih waktu dua tahun dan sudah siap, dan sepertinya debitur-debitur juga sudah mulai," ujarnya di Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (25/8).
OJK saat ini sedang mengkaji untuk memperpanjang atau tidak, pemberlakuan peraturan relaksasi restrukturisasi kredit. Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK/03/2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank Umum. Relaksasi tersebut diatur untuk berlaku selama dua tahun.
Saat OJK menerbitkan peraturan tersebut pada 2015, perbankan sedang menghadapi masalah membengkaknya NPL. Salah satu penyebabnya adalah NPL di kredit sektor komoditas yang memburuk menyusul anjloknya harga komoditas di pasar global.
Adapun ketentuan POJK itu mengatur mengenai restrukturisasi yang dilakukan sebelum terjadi penurunan kualitas kredit. Jika sebelumnya restrukturisasi kredit memperhitungkan tiga pilar, maka OJK dengan relaksasi itu hanya memberlakukan penggunaan satu atau dua pilar dari tiga pilar yang ada
Jika relaksasi tersebut tidak diperpanjang, maka OJK akan kembali menggunakan tiga pilar yaitu sektor industri, kondisi perusahaan, dan kemampuan membayar untuk menjaga kehati-hatian bank sebelum menyalurkan kredit.
Sementara hingga Juni 2017, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) perbankan tercatat 3,0 persen (gross) atau 1,4 persen (net). Angka NPL itu menurun dibanding Mei 2017 yang sebesar 3,1 persen (gross).