EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah memutuskan untuk menaikkan target penerimaan cukai rokok sebesar lima persen seperti yang tercantum dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2018. Ketua Umum gabungan produsen rokok putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan, kenaikan target itu amat memberatkan industri yang menurutnya terus mengalami tekanan.
Ia menuturkan, selama tiga tahun berturut-turut, tarif cukai rokok selalu naik. Pada 2016 lalu, misalnya, kenaikan tarif cukai mencapai 15 persen. Kemudian, tahun berikutnya tarif cukai kembali naik 10,5 persen. Padahal, kenaikan tarif ini tidak diikuti dengan kenaikan produksi.
Menurut Moefti, volume produksi rokok mengalami penurunan sebesar hampir 6 persen selama semester pertama 2017 dibandingkan periode yang sama pada 2016. Sebelumnya, produksi rokok pada 2016 juga turun sebesar 1,8 persen atau setara dengan 6 miliar batang, menjadi 342 miliar batang.
Selain itu, dalam Nota Keuangan RAPBN 2018, industri hasil tembakau diperkirakan mengalami penurunan produksi sebesar 3 persen, dari 331,7 miliar batang menjadi 321,9 miliar batang rokok. Karena itu, Moefti berharap, kondisi ini tak makin diperparah dengan kenaikan cukai yang tinggi.
"Kami berharap kenaikan tarif cukai tahun 2018 maksimum sama dengan kenaikan target penerimaan cukai seperti tercantum di RAPBN 2018, yaitu 4,8 persen. Jangan lagi ada beban tambahan bagi industri,” ujarnya, lewat siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (24/8). Menurut Moefti, kenaikan cukai yang terlalu tinggi juga dapat memicu maraknya perdagangan rokok ilegal.
Sebelumnya, Sekretaris Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas mengatakan, kenaikan cukai rokok sedikit banyak akan memengaruhi industri yang produksinya tengah merosot. Ia berharap kenaikan tarif cukai tidak terlalu tinggi sehingga industri tetap dapat tumbuh. "Harapannya kalau naik jangan terlalu jauh dari inflasi," ujarnya, Selasa (22/8) lalu.