EKBIS.CO, JAKARTA -- Sebuah pengakuan datang dari media sosial paling populer di dunia. Facebook mengakui keterlibatannya dalam pemilihan presiden di AS ketika Donald Trump bersaing dengan Hillary Clinton. Ribuan akun palsu dijalankan dari Rusia dan menghabiskan 125 ribu dolar untuk beriklan di Facebook selama kampanye pilpres di AS.
Dikutip dari laman www.news.com.au, Facebook mengakui, pihaknya menerima sekitar 100 dolar AS dari berita-berita palsu pada pesta demokrasi AS lalu. Isu-isu yang dipasok meliputi berita mengenai pernikahan sesama jenis, imigrasi, kontrol senjata, dan hubungan antar ras. Pernyataan itu diungkap pada Rabu (6/9) kemarin.
Terkuaknya fakta ini menyusul sikap chief executive Facebook, Mark Zuckerberg, yang mengkritik kebijakan Presiden Trump untuk membatalkan Daca. Daca adalah program di era Obama yang mengizinkan 800 ribu imigran masuk ke perguruan tinggi, memperoleh SIM, dan bekerja.
"Menawarkan mimpi-mimpi Amerika kepada masyarakat namun merampasnya kembali dan menghukum mereka agar meyakini pemerintah adalah hal paling bermasalah yang pernah aku saksikan di perjalanan negara ini," ucap Zuckerberg dalam live video selama 45 menit di Facebook.
Meski jumlah berita hoax yang terdeteksi relatif kecil, fakta ini adalah petunjuk bagi para investigator untuk membuktikan campur tangan Rusia dalam pilpres AS. Rusia disinyalir memengaruhi arah politik warga AS selama pilpres Trump kontra Hillary.
Dari hasil investigasi, sebanyak 470 akun berasal dari organisasi bereputasi buruk yang bermarkas di St. Petersburg, Rusia. Sejauh ini nama-nama akun yang ditelusuri masih dirahasiakan demi kepentingan penyelidikan.
Akun-akun bodong tersebut memasang tiga ribu iklan dalam rentang waktu Juni 2015 sampai Mei 2017. Chief Security Officer Facebook, Alex Stamos, menyatakan iklan yang dipasang tidak secara gamblang merujuk pada pilpres AS atau preferensi pilihan. Namun ribuan iklan itu dibungkus propaganda yang dapat memecah belah suara lewat kekuatan sosial media.
Akun-akun palsu itu ditemukan tatkala Facebook sedang menganalisis pembelian iklan oleh klien. Temuan itu kemudian dikaitkan dengan dugaan pengaruh Rusia selama pilpres di Negeri Paman Sam. Saat ini Facebook sudah menyerahkan penyelidikan ke pihak otoritas AS.