EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menerbitkan Peraturan BI (PBI) Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Surat Berharga Komersial (SBK) atau Commercial paper merupakan salah satu instrumen untuk mendapatkan alternatif sumber pendanaan jangka pendek dari pasar uang.
Kepala Departemen Pengembangan Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah mengatakan, instrumen SBK memang dianggap kurang familiar oleh korporasi di pasar keuangan domestik. "Makanya ini jarang digunakan," katanya kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Senin (11/9).
Dia mengungkapkan, pada 2005-2006, salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pernah menerbitkan SBK. Penerbitan itu sebagai alternatif dari rencana penerbitan obligasi yang gagal karena pasarnya kurang mendukung. Di Indonesia, kata Nanang, tingkat kepercayaan terhadap SBK pun masih rendah. "Hal itu karena masih ada kekhawatiran bahwa kejadian pada krisis 1998 akan kembali terulang," ujarnya.
Saat krisis 1998 terjadi penerbitan SBK fiktif dan gagal bayar seperti SBK yang diterbitkan Garuda Indonesia, Hutama Karya, Kertas Leces, serta Istaka Karya. Dengan penerbitan aturan PBI ini, kata dia, termasuk upaya meningkatkan kepercayaan pada SBK.
Sebelumnya pada 1995, sudah ada ketentuan BI terkait penerbitan dan perdagangan SBK atau SKDIR 1995. Hanya saja Nanang memastikan, PBI Nomor 19/9/PBI/2017 lebih aman dan terpercaya sebab memiliki persyaratan ketat.
Tiga syarat utama yang membedakan PBI kali ini dengan ketentuan BI di 1995. Pertama, seluruh perdagangan dan transaksi SBK akan dicatat tanpa warkat, melainkan secara elektronik dan diselesaikan dengan pemindahbukuan. "Tahun 1998 banyak SBK fiktif, makanya sekarang kami atur tidak pakai warkat atau atau kertas," kata Nanang.
Syarat kedua, BI mewajibkan penerbit SBK yakni korporasi untuk memiliki perangkat yang ekuivalen layak investasi atau investment grade. Hal ini demi menjaga kepercayaan investor dengan menjamin tata kelola penerbitan juga transaksi SBK yang baik.
"Pada era 1998, peran lembaga rating dalam memberikan keyakinan pada investor masih belum optimal," jelas Nanang. Menurutnya, kepercayaan investor memengaruhi keputusan investasi sekaligus memengaruhu likuiditas pasar SBK domestik.
Ketiga, Nanang mengatakan, dalam tata kelola transaksi, BI mengharuskan pembelian SBK minimal Rp 500 juta. Sedangkan penerbitan SBK-nya minimal Rp 10 miliar. Tujuannya untuk menjaga agar transaksi SBK dilakukan oleh investor menengah ke atas. "Instrumen ini memang bukan untuk investor ritel melainkan investor yang memang sudah memahami risiko," tutur Nanang.
Ia memaparkan, dalam PBI itu BI juga mencantumkan banyak peraturan dari sisi penerbit. Misalnya, penerbit harus korporasi yang sahamnya telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau pernah menerbitkan obligasi atau sukuk yang dicatat di BEI dalam lima tahun terakhir.
Bila tidak tercatat di BEI sebagai emiten atau perusahaan publik, maka korporasi penerbit harus beroperasi setidaknya tiga tahun atau kurang dari tiga tahun sepanjang mempunyai penjaminan. Korporasi juga harus memiliki ekuitas paling sedikit Rp 50 miliar dan menghasilkan laba bersih dalam satu tahun terakhir.
Sebagai informasi, BI telah menerbitkan PBI Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang pada 2 Januari lalu yakni Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasae Uang. Sedangkan pada 4 September lalu, BI terbitkan PADG mengenai Lembaga Pendukung Pasar Uang yang Melakukan Kegiatan Terkait SBK di Pasar Uang. Ke depannya BI akan kembali menerbitkan PADG SBK lagi yang lebih teknis sebagai bagian dari PBI Nomor 19/9/PBI/2017.