EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum himpunan pengusaha muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Dahalia mengusulkan agar pemerintah menerbitkan peraturan presiden (Perpres) untuk mendorong tingkat partisipasi swasta dalam proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia. Ia berharap, dalam Perpres tersebut pemerintah menentukan batas nilai proyek yang tak boleh dikerjakan BUMN sehingga harus diserahkan pada swasta nasional.
"Saya sarankan angkanya Rp 150 miliar," ujar Bahlil, dalam sebuah forum diskusi yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, Selasa (12/9).
Bahlil mengusulkan batasan tersebut karena ia yakin proyek dengan nilai investasi di bawah Rp 150 miliar mampu dikerjakan swasta. Usulan mengenai Perpres ini dilontarkan Bahlil karena ia menilai telah terjadi monopoli dari BUMN dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
Dalam proyek pembangunan jalan tol di daerah misalnya, Bahlil menyebut pekerjaan kecil seperti menyediakan batu, besi dan pasir semuanya diserahkan pada anak perusahaan BUMN. "Apa itu namanya tidak monopoli?"
Padahal, Bahlil menilai, sekalipun investasi dilakukan BUMN, seharusnya perusahaan plat merah memberikan ruang bagi pengusaha daerah untuk ikut terlibat. Dengan begitu, keduanya dapat sama-sama tumbuh.
Bahlil menyebut saat ini ia bersama tim dari Hipmi sedang menyusun draf usulan Perpres mengenai kontribusi swasta tersebut. Ia berharap, pemerintah dapat merealisasikan komitmennya untuk melibatkan lebih banyak swasta dalam pembangunan ekonomi di Tanah Air.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI Andi Jamaro Dulung menyebut ada satu regulasi yang ia anggap menjadi penghambat keterlibatan swasta dalam proyek infrastruktur nasional. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan jasa konstruksi, ada istilah penugasan langsung pada BUMN. Dalam aturan itu, BUMN juga diizinkan menunjuk langsung anak perusahaan BUMN untuk mengerjakan proyek konstruksi tanpa ada batasan nilai.
Memang, sambung Andi, tidak ada pasal yang melarang keterlibatan swasta. Namun, dalam prakteknya hal tersebut menjadi sulit terealisasi. "Komisi VII tegas bahwa aturan yang menghambat tidak boleh dijalankan. Segera akan kita evaluasi."