EKBIS.CO, JAKARTA -- Rencana pengenaan biaya top up e-money diminta ditinjau ulang. Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam mengatakan, Fintech termasuk uang elektronik memang perlu didorong.
''Tetapi jangan dengan membebani masyarakat dan hanya menguntungkan penyedia jasa,'' ujar Ecky, dalam siaran persnya, Senin (18/9).
Ecky menjelaskan kemajuan Fintech seharusnya menghadirkan efisiensi keuangan dan kemudahan. Ia menilai, tidak menjadi masalah jika uang elektronik ini hanya bersifat pengganti uang tunai yang nilainya setara.
Tetapi, jika untuk memperoleh uang elektronik itu masyarakat dibebani biaya, artinya uang elektronik itu bukan lagi menjadi alat tukar yang setara, tetapi sudah terjadi monopoli jasa. Ia menyatakan, sebetulnya bank sudah dapat keuntungan dari uang deposit yang mengendap tersebut. ''Padahal dari deposit sendiri margin-nya sudah tinggi karena bagi bank ini uang murah. Sekarang mau ditambah lagi biaya top up,'' ujarnya.
Ecky mengungkapkan, alasan untuk pengembangan penyediaan mesin pembayaran pun tidak bisa diterima. Biaya sebesar Rp 2.000 atau Rp 2.500 yang diusulkan sepertinya tidak besar secara nominal. Namun, menurutnya, jumlah kartu elektronik sangat besar. Sekali isi ulang, masyarakat biasanya mengisi sejumlah Rp 50 ribu, bukan Rp 500 ribu. Oleh karena itu, ia menegaskan, kebijakan ini akan merugikan masyarakat kecil yang sekali top-up hanya Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu. ''Oleh karena itu, saya meminta BI dan OJK meninjau ulang rencana penerapan biaya ini,'' ujarnya.