EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya, memastikan kerugian akibat penggunaan software ilegal mencapai triliunan rupiah. "Semua yang menggunakan software palsu pasti rugi. Misalnya harga sofware palsu 500 ribu, yang asli 1,5 juta. Memang murah yang palsu tetapi banyak hal tidak bisa sinkron dengan aplikasi yang kita perlu dan menjadi tidak optimal saat digunakan," katanyadi Jakarta berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (10/10) .
Belum lagi data dalam perangkat dicuri, seperti kasus yang sedang ditangani Bareskrim saat ini. "Ketika malware masuk ke sistem, lalu membekukan sistem, kemudian dibuat backdoor, bisa semaunya. Kemudian meminta tebusan. Kita rugi dobel-dobel. Kalau kita hitung secara total bisa triliunan," jelas Agung.
Untuk itu, lanjutnya, bersama MIAP dan kementrian terkait, Agung menjelaskan pihaknya akan fokus dalam menangani kasus software ilegal ini. "Dengan kekuatan legal yang kita punya, kita akan terus mencari, temukan, dan kita pukul keras kejahatan cyber ini" tegasnya.
Tetapi masyarakat juga harus paham dengan tidak menggunakan software palsu. Selain itu juga melaporkan jika dirugikan. "Kami bergerak setelah ada aduan, kemudian diberi kesempatan mediasi untuk berdamai. Nah dalam hal ini salah satu poinnya adalah tarik semua produk palsu. Dari situ kita tau jaringan bisnisnya," katanya.
Infeksi malware
Studi malware terbaru berjudul "Cybersecurity Risks from Non-Genuine Software" dari Fakultas Teknik National University of Singapore (NUS) mencatat 92 persen perangkat komputer dan laptop yang menggunakan software palsu terinfeksi malware. Assistant General Counsel, Digital Crime Unit, Microsoft Asia Keshav S Dhakad, menyebutkan, malware yang menyerang komputer pengguna sofware ilegal itu berasal dari CD/DVD bajakan, produk software & sistem operasi bajakan.
"Sebanyak 61 persen DVD/CD bajakan terinfeksi walware, produk software bajakan 42 persen terjangkit malware, sistem operasi ilegal 29 persen terjangkit malware, game and apps 19 persen dan bahkan software antivirus bajakan juga sudah terinfeksi malware 17 persen," kata Keshav.
Keshav menjelaskan, saat ini interkoneksi melalui jaringan internet telah menjadi sebuah kebiasaan. Bahkan sudah menjadi kebutuhan dan keharusan seperti transformasi digital dari bisnis, menjaga keterikatan dengan customer, pengembangan SDM, peningkatan sistem operasi. "Tetapi semua itu butuh security," katanya.
Namun, lanjutnya, masih banyak yang belum paham dengan teknik serangan dari penjahat cyber baik melalui email, serangan trojan, pembentukan backdoor, transaksi bitcoin, dan lain-lain. Mencermati temuan tersebut, Ketua MIAP Justisiari P. Kusumah mengatakan, risiko besar bagi Indonesia yang notabene pengguna internet terbesar keempat di dunia, adalah serangan terhadap data nasabah, seperti yang saat ini tengah ditangani pihak Bareskrim Polri.
"Itu baru jual beli data nasabah, bagaimana kalau pelaksanaan transaksi juga bisa di-hack melalui infeksi malware? Ini bisa mengancam jaringan industri keuangan," tegas Justisiari di kesempatan yang sama.