EKBIS.CO, JAKARTA -- Dunia usaha masih optimistis untuk berbisnis di Indonesia. Optimisme tersebut tecermin dengan meningkatnya indeks tendensi bisnis (ITB) pada kuartal III 2017.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menjelaskan, ITB kuartal III 2017 berada di atas seratus, tepatnya 112,39. "Tingkat optimisme pelaku bisnis ini lebih tinggi dibandingkan kondisi kuartal II 2017 yang sebesar 111,63," kata Suhariyanto dalam paparannya di kantor BPS, Jakarta, Senin (6/11).
Indeks tendensi bisnis adalah indikator yang memberikan informasi mengenai kondisi bisnis dan perekonomian dalam jangka pendek. ITB berkisar antara 0 sampai 200. Nilai ITB di bawah 100 berarti terjadi penurunan kondisi bisnis. Sedangkan, di atas 100 terjadi peningkatan.
Berdasarkan survei BPS, seluruh kategori lapangan usaha mengalami peningkatan kondisi bisnis. Kecuali, lanjut Suhariyanto, kategori lapangan usaha real estate yang mengalami penurunan karena ITB hanya mencapai 98,00 atau lebih rendah dibandingkan kuartal II 2017 yang sebesar 102,51.
Dia mengatakan, peningkatan kondisi bisnis tertinggi terjadi pada kategori lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi. "Untuk lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi ini, ada kenaikan dari 130,32 menjadi 134,25," kata dia.
Terjaganya kondisi bisnis pada kuartal III dikarenakan adanya peningkatan tiga komponen pembentuk indeks. Ketiga komponen tersebut adalah pendapatan usaha dengan nilai indeks sebesar 115,62, penggunaan kapasitas produksi atau usaha dengan nilai indeks sebesar 114,25, dan rata-rata jumlah jam kerja memiliki nilai indeks 107,29.
Kondisi bisnis Tanah Air diperkirakan tetap terjaga pada akhir tahun. Suhariyanto menyatakan, nilai ITB kuartal IV 2017 diperkirakan sebesar 109,70. Akan tetapi, tingkat optimisme pelaku bisnis dalam melihat potensi bisnis diperkirakan lebih rendah.
Dia mengatakan, kondisi bisnis seluruh kategori lapangan usaha diperkirakan meningkat. Peningkatan kondisi bisnis tertinggi diperkirakan terjadi pada kategori lapangan usaha administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib dengan nilai ITB sebesar 129,59. Sementara itu, kondisi bisnis dengan peningkatan terendah diperkirakan terjadi pada kategori lapangan usaha pertambangan dan penggalian.
Peningkatan optimisme pebisnis sejalan dengan rilis BPS sebelumnya mengenai pertumbuhan produksi industri manufaktur. BPS mengumumkan, produksi industri manufaktur besar dan sedang tumbuh 5,51 persen pada kuartal III 2017 terhadap periode sama tahun lalu.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, data tersebut membuktikan industri manufaktur nasional menggeliat. “Industri tumbuh dalam tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi. Kontribusi terhadap ekspor 75 persen, kontribusi terhadap perpajakan juga terbesar," kata Airlangga usai menggelar pertemuan dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Jakarta, Senin.
Selain itu, sektor manufaktur juga berkontribusi terhadap investasi sekaligus penyerapan tenaga kerja. Namun, kata dia, terdapat berbagai hal yang masih perlu dibenahi, mulai dari rantai pasok, pengadaan bahan baku, energi, hingga pemberlakuan tarif yang berkaitan pada perdagangan. “Pengadaan bahan baku menjadi catatan utama," katanya.
Airlangga menjelaskan, hampir seluruh industri membutuhkan energi, baik listrik maupun gas. Karena itu, pasokan energi untuk industri harus terus ditingkatkan. Airlangga juga akan berupaya menekan tarif ekspor supaya industri dalam negeri semakin bergairah.
Dalam kesempatannya bertemu Kadin, Airlangga membahas berbagai hal yang mampu yang mampu mendukung industri nasional yang berkelanjutan, seperti standar nasional Indonesia (SNI) dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Menurut Airlangga, beberapa industri berharap SNI terus diberlakukan. Akan tetapi, ada sebagian yang menganggap penerapan SNI tidak perlu diwajibkan. "Kalau TKDN tergantung pada masing-masing penggunanya. Kemudian juga diangkat mengenai impor LPG yang cukup besar," kata Airlangga.
(Tulisan diolah oleh Satria Kartika Yudha).