EKBIS.CO, PADANG -- Bagi sebagian orang, Kota Sawahlunto punya ruang tersendiri dalam memori hidup masing-masing. Tak sekadar kota dengan segala hiruk-pikuknya, Sawahlunto melakoni peran penting dalam industri pertambangan di Sumatra, bahkan Indonesia.
Berawal dari pekerja yang 'diimpor' dari Jawa, Belanda menjalankan pertambangan batu bara di Sawahlunto, Sumatra Barat memanfaatkan para tahanan perang. Kisahnya bergulir, melewati empat zaman: era kolonialisme Belanda, penjajahan Jepang, perebutan kemerdekaan, hingga periode pascakemerdekaan hingga kini.
Saat ini situs pertambangan di Sawahlunto yang terdiri dari Ombilin 1, 2, dan 3 memang tak lagi memproduksi emas hitam. Cadangan batu bara yang ada sudah terlalu dalam untuk digali. PT Bukit Asam (persero) Tbk, selaku pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara di Sawahlunto memutuskan untuk menghentikan produksi.
Meski begitu, perusahaan tetap berkomitmen menjaga maruah Sawahlunto sebagai 'Kota Pertambangan' dengan melestarikan aset-aset peninggalan kolonial. Arahnya jelas, seluruh aset akan dihidupkan sebagai destinasi wisata.
Produksi batu bara boleh saja disetop. Tak ada lagi wara-wiri para pekerja yang keluar masuk kantor Bukit Asam di dekat Lapangan Segitiga. Namun, Sawahlunto tetap memiliki kenangan istimewa bagi mereka yang pernah tinggal di atasnya.
Salah satunya adalah Yenny Narny, seorang pengajar di Program Studi Sejarah di Universitas Andalas, Padang. Latar belakang pendidikannya yang banyak mengulas sejarah daerah atau nasional, sejalan dengan nasibnya sebagai seorang anak pekerja tambang di Sawahlunto.
Yenny merasa terpanggil untuk menuangkan data sejarah Kota Sawahlunto ke dalam sebuah buku. Tujuannya sederhana, agar rekaman romansa dan suasana pertambangan di Sawahlunto tak lekang oleh zaman.
Ide Yenny ini didukung penuh oleh perusahaan. PT Bukit Asam (persero) Tbk merestui penerbitan sebuah buku yang merangkum perjalanan Sawahlunto sejak akhir abad ke-19 hingga era milenial kini. Pihak kampus, Universitas Andalas, juga memberikan dukungan dengan memasok kebutuhan data riset yang mendukung penyusunan buku.
Lama menunggu, akhirnya November 2017 ini diluncurkan buku berjudul "PT Bukit Asam - Unit Pertambangan Ombilin bersama Masyarakat, Karyawan, dan Stakeholder". "Ada ingatan yang tak bisa saya lepaskan. Sebagai anak karyawan saya akrab dengan bunyi grader, sirine pekerja," ujar Yenny saat peluncuran bukunya di Universitas Andalas, Kamis (16/11).
Bagi Yenny, perang industri pertambangan yang berjalan selama lebih dari seratus tahun telah membentuk karakter masyarakat Sawahlunto. Perkembangan Kota Sawahlunto dan kawasan di sekitarnya pun, menurutnya, tak bisa lepas dari sokongan perusahaan pertambangan yang beroperasi.
"Sedih ketika memberi berita bahwa tambang ini harus ditutup. Saya kemudian ingin memberikan kontribusi kepada perusahaan. Salah satunya, dengan buku ini," ujar Yenny.
GM PT Bukit Asam (persero) Tbk Unit Pertambangan Ombilin (UPO), Nan Budiman, menyebutkan bahwa selama ini perusahaan telah berhasil menjalin hubungan baik dengan pemerintah dan masyarakatnya. Selama satu dekade belakangan misalnya, seluruh pemangku kepentingan di Kota Sawahlunto berjuang keras memajukan sektor pariwisata.
Sejumlah aset penting milik PT Bukit Asam direvitalisasi dan dihidupkan sebagai destinasi wisata unggulan. Ia menegaskan, produksi batu bara boleh saja mandek. Namun, perhatian perusahaan tetap tidak akan luntur. "Makanya kami rasa pantas untuk mencatatkan sejarah Ombilin ini dalam suatu buku. Buku mengantarkan kita menembus waktu ke era kolonial," katanya.
Komisaris Utama PT Bukit Asam (persero) Tbk, Agus Suhartono menyebutkan bahwa penulisan sejarah Kota Sawahlunto penting dilakukan agar Indonesia tak lupa pernah memiliki situs pertambangan batu bara yang begitu maju. Sawahlunto merupakan titik awal kemajuan industri pertambangan modern di Indonesia.
Bahkan menurutnya, sejarah pertambangan Kota Sawahlunto tak hanya penting bagi akademisi dan praktisi sejarah, namun juga bagi teknisi yang bekerja di sektor pertambangan. Apalagi, pemerintah kolonial sempat berniat menutup situs pertambangan di Sawahlunto pada tahun 1930 lantaran produksi yang anjlok. Namun langkah itu urung dilakukan hingga Sawahlunto benar-benar memiliki wajahnya seperti saat ini.
"Seiring waktu, kami tak ingin Bukit Asam hanya menjadi bagian masa lalu Sawahlunto. Kami ingin ambil bagian dalam membawa Sawahlunto menjadi kota wisata," katanya.
Buku yang ditulis dari dukungan PT Bukit Asam ini menceritakan perjalanan lengkap Kota Sawahlunto sejak menjadi situs pertambangan, hingga kota modern saat ini. Penulis juga mengungkapkan transformasi yang dilakukan Pemerintah Kota Sawahlunto yang mencoba membangun industri pariwisata berbasis sejarah tambang. Masyarakat bisa memperoleh buku ini melalui penulis langsung, atau Penerbit Universitas Andalas.