EKBIS.CO, SURABAYA -- Kementerian ESDM bersama Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menggelar kegiatan "Migas Goes to Campus" di Auditorium Sinar Mas, Departemen Teknik Industri ITS, Jumat (24/11). Acara berupa kuliah tamu dengan tema "Kesiapan Industri Dalam Negeri dalam Penyediaan Infrastruktur Migas (Konsekuensi Penetapan Kontrak Gross Split)" ini menghadirkan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, sebagai pemateri.
Arcandra menjelaskan kondisi minyak cadangan di Indonesia yang semakin menipis. Saat ini kondisi minyak di Indonesia hanya ada 3,3 miliar barel dan menduduki peringkat kedua terbawah di mata dunia.
Melihat kondisi ini, lanjut Arcandra, kemungkinan besar Indonesia dapat memproduksi minyak hanya bertahan 11 tahun ke depan. Meskipun begitu kondisi tersebut bisa diperbaiki jika ada teknologi terbaru yang dapat menyerap minyak secara keseluruhan.
"Selama ini pengeboran belum secara keseluruhan bisa menyerap minyak. Yang terserap hanya sebagian," ujar Arcandra.
Belum lagi, Indonesia membutuhkan waktu 15 tahun untuk dapat memproduksi minyak. Cara ini dianggap efektif, namun tidak efisien.
Meski begitu, kata Arcandra, dalam dunia perminyakan hal yang paling sulit digarap tidak hanya pencarian minyak, melainkan perhitungan biaya dalam penyediaan minyak.
Arcandra kemudian menjelaskan, saat ini skema perhitungan dana atau pembiayaan minyak di Indonesia beralih dari skema bagi hasil (PSC--production sharing contract) dengan skema cost recovery menjadi gross split. Skema PSC cost recovery, yakni pembagian hasil berasal dari biaya produksi dikurangi dengan biaya opreasi.
Arcandra mengibaratkan PSC cost recovery ini dengan seorang petani yang memiliki sawah luas dan membutuhkan penggarap. Petani ialah representatif dari pemerintah, sementara penggarap adalah perusahaan migas atau kontraktor.
"Pemerintah punya minyak tapi yang menggarap adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)," kata Arcandra.
Dalam menggarap lahan pertanian, skema PSC cost recovery berarti semua biaya operasi beli bibit, perawatan, usir burung, dihitung sebagai biaya produksi. Sementara, sisa dari biaya produksi tersebut, akan dibagikan hasil kepada pak tani dan para KKKS sesuai perjanjian. Artinya, hasil yang didapatkan pemerintah terbilang sedikit.
Oleh karena itu, pemerintah akhirnya memutuskan mengubah skema PSC menjadi gross split. Dengan skema gross split ini, seluruh hasil produksi sawah yang diibaratkan sebagai migas, hasil produksinya akan dibagikan langsung antara petani dan penggarap.
"Tidak peduli berapa biaya operasi yang dikeluarkan dalam proses penggarapan. Artinya antara pemerintah dan KKKS langsung bagi hasil produksi, ujar Arcandra.
Adapun prinsip yang dipegang dalam skema gross split ialah 'certainty', yaitu pemberian intensif jelas dan terukur. Prinsip lainnya adalah 'simplicity', yaitu mendorong bisnis proses kontraktor dan hulu migas (K3S), serta SKK Migas menjadi lebih sederhana dan akuntabel serta efisien.
"Yakni mendorong kontraktor migas dan industri penunjung untuk lebih mampu menghadapi gejolak harga minyak tertentu. Sementara manfaatnya ialah memberikan hasil keekonomian yang sama atau bahkan lebih baik dari skema cost recovery, mempercepat 1-2 tahun tahapan lapangan dan mendorong indsutri migas lebih kompetitif," kata Arcandra.